Langsung ke konten utama

Jujur dan Berprestasi

Di Senin pertama di bulan Juli, sekitar seminggu yang lalu atau tepatnya pada tanggal 4, kami semua, Praja IPDN Kampus Daerah Kalimantan Barat melakukan upacara bendera seperti biasanya, sebuah kegiatan wajib setiap hari Seninnya. Ya, kami adalah mahasiswa, tapi kami adalah mahasiswa kedinasan, hidup di biayai dan bahkan diberi uang “jajan” oleh negara setiap bulannya, berkuliah dengan memakai seragam lengkap dengan berbagai atributnya, dan ya..setiap hari Senin dan hari-hari kenegaraan lainnya kami memang diwajibkan untuk mengikuti upacara bendera. Tapi itu bukanlah sesuatu hal yang hendak saya bahas atau bahkan permasalahkan. Di sini, di tulisan/artikel ini, saya akan mencoba membahas amanat dari inspektur upacara pada upacara bendera Senin itu.

Bapak DR. Aloysius Mering, M.Pd., Asisten Direktur I bagian Akademik dan Kerjasama IPDN Kampus Daerah Kalimantan Barat, bertindak selaku inspektur upacara pada senin itu. Beliau, di mata saya pribadi, merupakan orang yang cerdas, pekerja keras, bervisi jelas, dan segala tindakannya seperti sudah beliau rencanakan dan susun secara matang dan sedetail mungkin sehingga apa yang beliau katakan, amanatkan terdengar sungguh bijak, sistematis, dan tepat sasaran. Seperti halnya jabatan yang dia pegang, beliau merupakan orang yang sangat konsekuen dan tegas mengenai akademik, di samping itu beliau juga merupakan seorang guru musik yang sangat handal. Jadi, sejauh ini saya belum menemui sesuatu hal yang “kurang” pada seorang Pak Mering ( begitu biasa beliau dipanggil ) sehingga saya belum bisa menyerang beliau dalam sebuah kata-kata kritikan tajam nan pedas penuh dendam. Saya masih mengagumi beliau dengan segala kelebihan yang beliau miliki, setidaknya hingga saat ini, hingga saat saya menulis tulisan/artikel ini.

That’s enough for the prologue, so now let’s go for the main show!
Awal Juli tahun 2011, merupakan masa-masa menentukan bagi kami semua, Muda Praja IPDN Angkatan XXI, entah itu yang ada di kampus pusat ataupun yang tersebar di berbagai kampus daerah lainnya. ( baca : KAMPUS DAERAH DAN SEMANGAT PERUBAHAN ) Karena pada tanggal 4 – 14 Juli 2011 kami semua akan menghadapi tes tertulis, dengan rincian, tanggal 4 - 8 Juli 2011 Ujian Akhir Semester bidang Pengajaran dan kemudian dilanjut dengan Ujian Akhir Pelatihan pada tanggal 11 - 14 Juli 2011. Semua rangkaian ujian tertulis itu kemudian akan ditutup atau diakhiri dengan tes kesamptaan atau tes ketahanan fisik. Jadi, tidak berlebihan kalau pada akhirnya ada beberapa orang atau mungkin hanya saya pribadi, yang menyebut bahwa bulan Juli adalah bulan penuh tantangan sekaligus bulan Belajar dan bulan Sibuk bagi praja.

Dan karena momentum itu maka Pak Mering selaku inspektur upacara memberikan amanat mengenai permasalahan itu dan secara tidak resmi pula amanat Pak Mering itu menjadi pembuka bagi Ujian yang akan dijalani oleh Muda Praja IPDN Kampus Daerah Kalbar. Panjang lebar beliau berkata dengan kata-kata penuh petuah bermakna dalam yang sangat indah apabila mampu untuk diimplementasikan nyata oleh seganap pihak yang mendengarkannya. Inti dari semua kata-kata yang telah beliau keluarkan tulus ikhlas dari mulutnya adalah beliau berharap ujian yang akan dijalani oleh kami semua ini, merupakan sebuah ujian yang bermottokan dan berlandaskan sebuah prinsip yang kuat nan positif yaitu : Jujur dan Berprestasi.
“Ujian kita berprestasi tapi dengan cara tidak jujur merupakan sesuatu yang tidak berguna. Dan walaupun kita melaksanakan ujian secara jujur tapi ternyata tidak berprestasi. Itu juga sesuatu hal yang tidak berguna.”, begitulah sekiranya beliau menguraikan motto Jujur dan berprestasi yang menjadi harapan beliau dan seluruh stakeholder IPDN dan bahkan seluruh akedemisi dan masyarakat di Indonesia serta seluruh dunia.

Sebuah motto yang klasik tapi selalu mengusik. Betapa tidak, motto yang sangat mudah kita ucapkan, tapi lagi-lagi selalu sulit kita terapkan dalam kehidupan nyata penuh realita dalam balutan intrik dan kepentingan ego manusia. Bisa kita bayangkan bila kita selaku manusia, khususnya seorang akademisi, yang secara jelas dan terang memikul beban berat di pundak untuk pada akhirnya menjadi manusia yang mempunyai kontribusi positif bagi masyarakat, agama, dan negara kita ini. Bahkan praja IPDN menjadi seperti mempunyai beban yang lebih berat lagi, karena secara lebih jelas dan terang lagi, kita akan menjadi seorang administrator, aparatur pemerintahan, birokrat pemerintahan, yang secara nyata bekerja langsung menjalankan pemerintahan, menahkodai kapal bernama Indonesia, dengan cara menentukan segala kebijakan publik dan juga memberi pelayanan pada publik, menjadi seorang pemimpin dan pembantu dalam waktu yang hampir bersamaan. Ya, itu lah kami nantinya. Ditambah dengan fakta bahwa dimulai dari pendidikan kita pun kita sudah dibiyai oleh uang negara, uang rakyat Indonesia, sehingga sudah terlalu jelas lah betapa beratnya beban yang ada di pundak kita ini. Bila saja kita mampu untuk menjalani ujian secara Jujur dan kemudian berprestasi, maka kita akan benar-benar manusia yang “sempurna” secara akademisi dan bahkan akan berdampak nyata pada dunia kehidupan kerja, bermasyarakat dan bernegara nantinya.
Mari kita kupas satu persatu secara lebih mendalam!

Jujur = Jujur jika diartikan secara baku adalah "mengakui, berkata atau memberikan suatu informasi yang sesuai kenyataan dan kebenaran". Dalam praktek dan penerapannya, secara hukum tingkat kejujuran seseorang biasanya dinilai dari ketepatan pengakuan atau apa yang dibicarakan seseorang dengan kebenaran dan kenyataan yang terjadi. Bila berpatokan pada arti kata yang baku dan harafiah maka jika seseorang berkata tidak sesuai dengan kebenaran dan kenyataan atau tidak mengakui suatu hal sesuai yang sebenarnya, orang tersebut sudah dapat dianggap atau dinilai tidak jujur, menipu, mungkir, berbohong, munafik atau lainnya. ( indonesia.siutao.com )

Intinya jujur meruapakan perwujudan moral atau akhlak baik kita. Kita mampu untuk bertindak sesuai dengan kemampuan, situasi, kondisi, dan perintah yang ada. Kita tidak menyalahi aturan apalagi mencoba mencari-cari celah untuk mengakali suatu aturan atau bahkan secara radikal menerebos segala aturan yang ada. Kita bertindak sesuai jalan yang telah ditentukan, sesuai peta yang telah kita dapatkan. Kita berusaha semaksimal mungkin secara bersih dan putih. Begitu halnya bila kita terapkan itu semua pada sebuah situasi bernama ujian, kita persiapkan diri kita sebaik mungkin, tentunya dengan selalu berlatih, belajar, dan mencoba setiap saatnya, sehingga pada saat ujian itu tiba diri kita ini telah siap dan dengan mudahnya mengisi lembar jawaban yang ada secara pasti dan yakin. Mengisi dengan segala kemampuan sendiri, sesuai waktu yang telah diberi, dan kemudian mengumpulkannya setalah waktu ujian diakhiri. Sederhanya, kita mengsisi dan menjawab setiap pertanyaan yang ada tanpa menyontek, tanpa bertanya ini-itu pada kawan, dan kegiatan lainnya yang jelas-jelas melanggar aturan. Itulah bersikap jujur dalam dunia akdemisi pada saat ujian.

Berprestasi = 1. mempunyai prestasi dl suatu hal (dr yg telah dilakukan, dikerjakan, dsb) (www.artikata.com)

Berprestasi dalam kata lainnya berarrti kita berhasil mencapai sesuatu hal yang telah ditentukan atau bakan melebihi ukuran yang telah ditentukan itu. Berprestasi berarti bernilai positif. Dalam lingkup dunia ujian, berprestasi berarti mendapatkan nilai yang baik, mendapatkan nilai lebih dari batas minimal yang telah ditetapkan. Itulah berprestasi. Secara umumnya, berprestasi berkenaan dengan hasil yang kita dapatkan sesuai dengan harapan dan ukuran yang telah ditetapkan. Jadi, dalam hal ini berprestasi hanya diukur dari pencapaian hasil atau output yang ada.

Betapa indah sungguh terbayang apabila kita sebagai seorang akademisi, mampu melaksanakan suatu ujian dengan jujur dan kemudian mendapatkan hasil yang berprestasi. Berarti kita telah mampu untuk berproses dengan benar dan juga mendapatkan hasil yang baik. ( baca : Proses yang benar atau Hasil yang baik ? ) Sebuah bentuk sangat ideal dalam sebuah dunia yang kita namakan dunia akademis. Tapi itu hanya sebuah mimpi belaka, Jujur dan Berprestasi seakan menjadi barang yang cukup sulit untuk kita temui. Terkadang atau bahkan sering salah satu dari kata itu harus kita buang, karena tak selamanya yang berproses secara benar ( jujur ) dapat serta merta mendapatkan hasil yang baik ( berprestasi ) dan tidak semuanya yang tidak berproses dengan benar ( tidak jujur ) mendapatkan hasil yang tidak baik ( tidak berprestasi ). Bahkan ada yang secara ekstrem berani memilih untuk bertindak tidak jujur untuk mendapatkan suatu prestasi. Karena realitanya memang terbukti, bahwa bertindak tidak jujur terlihat sangat mudah dan bahkan sangat dekat untuk mendapatkan suatu prestasi yang baik. Dibandingkan dengan mereka yang berlaku jujur, yang terkadang nasib presatasinya seperti gasing, dan belum terlalu pasti berpresatsi baik Hal ini ditambah dan diperparah dengan kondisi kita, terutama para generasi mudanya yang sudah terdoktrin kehidupan serba instant nan cepat, menafikan sebuah proses. ( baca : Proses atau hasil ? ) Mereka pun bertindak seperti itu karena ada sebuah mindset yang tertanam dalam benak mereka bahwa tindakan menyontek dsb merupakan sebuah tindakan biasa yang bukanlah merupakan sebuah dosa. Mereak pikir dosa hanya untuk hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan agama, tapi tidak untuk permasalahan dunia. Mereka pikir menyontek, dan yang sejenisnya hanya sebuah pelanggaran kecil nan biasa dari seorang pelajar, yang hanya melanggar tata tertib semata. Tidak kawan, bila and berpikiran seperti itu, berarti doktrin sekulerisme mulai meracuni otak dan hati anda semua. Karena dengan berpikirnya anda seperti itu, maka anda telah memisahkan antara kehidupan dunia dan kehidupan agama, itu sekuler namanya. Sedangkan agama dan dunia tidak dapat kita pisahkan, keduanya saling berkaitan dan saling mempengaruhi, apa yang kita lakukan di dunai akan berdampak jelas di akhirat nanti, tidak hanya hal-hal yang berkaitan dengan agama. Perlu kita pahami bersama, bahwa segala hal yang kita lakukan, segala sesuatunya yang melanggar aturan itu adalah sebuah dosa. Tapi sayang, karena mungkin pikiran sekuler itu telah lambat laun tertanam, mereka lebih memilih berorientasi pada hasil dan menafikan proses karena memang hasil lah yang bisa kita rasakan langsung di dunia ini, karena proses yang baik ataupun proses yang benar manfaat pahalanya tak bisa kita rasakan secara langsung. Ya, itu benar, karena dosa yang kita peroleh dari hasil menyontek dan sebagainya tak akan kita rasakan langsung dampaknya di dunia ini, jadi mereka berani mempertaruhkan itu untuk mendapatkan hasil yang instant.

Apa yang terjadi pada saat ini bukanlah sesuatu hal yang berdiri sendiri, tapi merupakan sebuah rentetan peristiwa panjang yang telah terjadi di masa lalu sehingga pada akhirnya membentuk sebuah bentuk di masa sekarang ini. Itu pula yang terjadi dengan budaya curang yang ada atau terjadi pada kita, atau bolehlah saya sempitkan menjadi hanya kami semua di sini. Ini, secara jujur saya katakan, merupakan hal yang telah dibina, dilatih semenjak dini, semenjak kita kecil, ketika kita semua duduk di bangku sekolah dasar. Segala budaya curang, seperti menyontek, dsb telah menjadi rahasia umum, di dalam dunia pendidikan kita, ditambah dengan kebijakan pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang secara tidak langsung mendewakan sebuah hasil, yaitu dengan diakannya sebuah UJIAN AKHIR NASIONAL/UJIAN NASIONAL. ( baca : UN 2009-2010 ) Sehingga pendidikan yang seharusnya fokus mengajarkan ilmu dan mendidik mental, moral, sikap dan perilaku para peserta pendidik, menjadi berubah sebagai sebuah lembaga bimbingan belajar yang memfokuskan pada latihan soal untuk mengejar nilai semata. Dan yang terjadi adalah sebuah penanaman budaya curang secara struktur. Yang akhirnya muncul juga di permukaan, masuk dalam ranah berita, setelah seorang Ibu dengan berani bersuara lantang menyuarakan kesalahan itu. ( baca : Ny. Siami ; Pahlawan Tanpa Topeng )
Seharusnya nilai itu bukan menjadi tujuan utama dalam sebuah pendidikan, tapi penanaman ilmu dan pendidikan moral, sikap, mental dan perilaku dalam sebuah proses yang benar lah yang harus menjadi tujuan utamnya, sehingga nilai hanya mengikuti tepat di belakangnya. Dan yang dinilai itu seharusnya tidak melulu hasil akhir dari sebuah evaluasi belaka, apalagi dengan sakleknya menjadikan itu sebagai sebuah patokan kelulusan, tapi cobalah untuk membuat sebuah mekanisme untuk menilai suatu proses dari seorang peserta didik dalam mencapai suatu hasil itu. Dan kemudian gabungkan dengan hasil yang dia dapatkan dari sebuah tes evaluasi. Maka dengan begitu akan lebih mudah dan lebih fair rasanya untuk menetukan sebuah nilai.

Bila saya mendengar cerita dari orang-orang yang hidup nyaman di tempoe doeloe, bukan sesuatu hal yang asing bila sesorang tidak naik kelas karena memang nilainya jelek dan secara nyata dia memang belum pantas untuk naik kelas, kemudian untuk lulus dan mendapatkan gelar sarjana pun orang-orang itu harus menempuh waktu yang sangat lama, lebih dari empat tahun. Tapi hasilnya, lulusan atau orang-orang itu sangat berkualitas dan hasilnya bisa dan telah kita rasakan. Tapi, tentunya beda zaman, beda masalah dan beda pendekatan penyelesaian masalahnya. Dan mungkin itu yang terjadi sekarang, negara kita ini masih bingung untuk mencari sebuah pijakan yang kokoh sehingga segala kebijakan yang dibuat sekarang masih sanagat rapuh, masih sanagat bersifat sementara. Dan tidak berbeda jauh pula dengan dunia pendidikan kita, inilah hasil dari kebijakan yang dibuat dari tempat yang rapuh, terpengaruh oleh racun-racun kaum kapitalis nan liberal.

Dan untuk permasalahan ini, izinkan saya mengutip penggalan puisi, dari sastrawan favorit saya, yaitu Taufik Ismail, dari Puisi yang berjudul “Pelajaran Tatabahasa dan Mengarang“, diambil dari buku kumpulan puisinya yang berjudul “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia”.

“...
Wahai Pak Guru, jangan kami disalahkan apalagi dicerca
Bila kami tak mampu mengembangkan kosa kata
Selama ini kami ‘kan diajar menghafal dan menghafal saja
Mana ada dididik mengembangkan logika
Mana ada diajar berargumentasi dengan pendapat berbeda
Dan mengenai masalah membaca buku dan karya sastra
Pak Guru sudah tahu lama sekali
Mata kami rabun novel, rabun cerpen, rabun drama dan rabun puisi
Tapi mata kami ‘kan nyalang bila menonton televisi”

Dalam puisi di atas secara jelas seorang Taufik Ismail telah melihat sebuah kesalahan dari kebijakan program pendidikan yang telah ditetapkan oleh pemerintah dan sistem pengajaran yang berlaku di Indonesia serta mental dan moral yang juga salah dari peserta didik yang ada. Dalam puisi itu Taufik Ismail memang tidak mengkritik permasalahan pemikiran yang serba instant, dan menafikan sebuah proses. Tapi, saya pikir permasalahan yang ada dan di ungkapkan dalam puisi itu, telah berkembang luas atau meruapakan awal dari permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh Indonesia sekarang ini.

Sehingga menjadi sesuatu hal yang “lumrah” segala hal curang yang terjadi pada generasi kita ini apalabila kita melihat serangkaian peristiwa yang melatarbelakangi segala budaya curang yang ada sekarang ini. Budaya curang itu, menjadi bertambah ironi karena terjadi pada mahasiswa yang seharusnya sebuah masa-masa tempat kita mengeluarkan dan membiasakan untuk hidup idealis, menaati segala aturan. Karena kita sudah semakin dekat dan nyata akan berkecimpung dalam dunia kerja, bermasyarakat, dan bernegara. Terlebih terjadi pada kami, selakau praja, anak negara, anak-anak yang dibiayai negara, uang rakyat, calon-calon aparatur pemerintahan, calon-calon pemimpin bangsa. Tapi ternyata diisi oleh serangkaian proses yang kurang benar dan bahkan tidak benar sama sekali.

Izinkan saya mengajukan beberapa pertanyaan pada mereka yang masih menghalalkan segala cara untuk mampu berprestasi atau mendapatkan segala keinginan yang mereka harapkan :

Apakah anda yakin yang anda lakukan itu benar?
Anda yakin kalau itu bukanlah sebuah dosa?
Apakah masih pantas bagi anda untuk bersuka cita tapi dengan cara yang salah?
Apakah pantas anda bangga mendapatkan hasil yang baik dari proses yang tidak benar?
Apakah anda yakin hal itu akan menjadi sesuatu hal yang bermanfaat bagi anda?

Bagi meraka yang masih dengan tegas memegang teguh idealismenya, dan tetap teguh melakukan serangkaian proses yang benar (jujur), tetap lah anda seperti itu walaupun anda belum mendapatkan hasil yang baik ( berprestasi ). Itu berati anda belum berusaha maksimal, tapi kalaupun anda sudah merasa berusaha semaksimal mungkin, itu berarti anda belum saatnya mendapatkan hasil yang baik menurut pandanagan dan pendapatn-Nya. Karena kita manusia hanya wajib berusaha secara maksimal dalam ikhitiar dan doa, pada hakikatnya hasil akhir adalah hak preogratif-Nya. Dan kalaupun anda telah berprestasi tetapi masih kalah oleh mereka-mereka yang berproses tidak jujur, saya yakinkan anda bahwa anda kalah dengan sanagat terhormat dan mereka menang dengan sangat terhina. Anda terpuji di dunia dan insya Allah juga terpuji di akhirat sana, tapi mereka hanya terpuji di dunia dan akan merana di alam sana. Dan bagi anda yang telah berproses secara jujur dan mendapatkan hasil yang sangat berprestadi pula, two thumbs up for you! You're the man, you are the great shape and the best role model for all the students all over the world! Keep the good job guys!!
Yakinlah dan selalu berpikir positif!
Cause belivers never die and Allah never sleep!!

Tetap di jalan yang lurus, karena segala yang kita perbuat akan kita pertanggung jawabkan nantinya secara hukum, hukum dunia maupun hukum akhirat!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ibadalana uliy ba’sin syadid

Selasa, 22 Juli 2014 22.00 WIB Saya akan menampilkan atau mem- posting tulisan dari Bapak Usep Romli , Pengasuh Pesantren Budaya "Raksa Sarakan" Garut. Tulisan ini merupakan tulisan di kolom Opini , harian Republika yang diterbitkan pada hari Selasa, 22 Juli 2014. Beliau menulis tentang (satu-satunya) cara untuk bisa mengalahkan zionis Israel. sehingga tulisannya pun diberi judul, Mengalahkan Zionis Israel . Berikut ini tulisannya saya tampilkan penuh tanpa ada sedikit pun saya kurangi atau tambahkan. "Mengalahkan Zionis Israel" Hari-hari ini, bangsa Palestina di Jalur Gaza sedang dibombardir pasukan Zionis-Israel. Nyaris tak ada perlawanan sama sekali, karena Palestina tak punya tentara. Hanya ada beberapa kelompok sipil bersenjata yang berusaha bertahan seadanya. Negara-negara Arab yang tergabung dalam Liga Arab tak berdaya. Begitu pula negara-negara berpenduduk mayoritas Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI), tak da...

D-IV atau S1 ?

Suatu malam pada hari Sabtu , tanggal 14, bulan Januari , tahun 2012, berlatar tempatkan teras masjid Al-Ilmi IPDN Kampus Kalimantan Barat, terjadi satu percakapan ringan sangat sederhana tapi kemudian mampu untuk membuat otak ini menjadi rumit karena terus memikirkan substansi dari apa yang diperbincangkan itu, terlalu rumit sehingga saya pikir perlu untuk dituangkan dalam sebuah narasi penuh kata, tidak berpetuah dan tidak juga indah. Tapi cukup-lah untuk sekedar berbagi ide dan informasi yang pastinya tidak sesat. Dan ini-lah percakapan singkat itu : HP ( inisial teman saya ) : “Dim, kamu lebih milih mana, S.IP atau S.STP ?” Saya : “mmm….pengennya sih S.IP” HP : “Kenapa, Dim? Kata orang kan kalo S.STP tuh lebih baik buat karir dan kata orang juga S.IP tuh lebih condong buat jadi dosen.” Saya : “Wah gak tau sih kalo masalah yang kayak gitunya, tapi saya ingin S.IP karena yang saya tau S.IP itu lebih mudah untuk nantinya kita mau nerusin ke S2, nah kalo S.STP itu gak semua unive...

Hercules dan Moral

The Legend of Hercules Minggu, 9 Februari 2014 10.10 WIB Cukup lama saya tidak menonton sebuah film di bisokop. Untuk sebagian orang, hal ini merupakan sebuah pemborosan karena kondisi yang ada di Indonesia memungkinkan kita untuk bisa menonton sebuah film dengan harga yang jauh lebih murah.  Di Indonesia kita masih bisa untuk mendapatkan sebuah DVD dengan harga yang sangat murah, sekitar 6 (enam) ribu rupiah ( bajakan tentunya tapi dengan kualitas gambar yang cukup baik ), bandingkan dengan harga yang harus dikeluarkan apabila kita menonton sebuah film di bioskop, sekitar 25 ribu – 50 ribu rupiah tergantung bioskop yang kita pilih. Saya pun menyadari hal itu tapi saya tentu juga memiliki alasan. Terlepas dari alasan idealis yang sebenarnya juga masih saya miliki, alasan utama yang ingin saya kemukakan disini adalah bahwa menonton sebuah film di bioskop bagi saya adalah sebuah penyegaran, sebuah hobi untuk melepas penat dan mendapatkan lagi beberapa semangat. Ya, hobi. ...