Langsung ke konten utama

Atas Nama Cinta


Atas Nama Cinta, sebuah buku sastra yang berisi lima buah puisi panjang hasil karya dari seorang aktivis sosial, atau yang lebih dikenal oleh masyarakat dengan LSI-nya, yaitu Denny JA. Denny JA sendiri meng-klaim bahwa puisi yang dituliskan olehnya, yang kemudian dia himpun dalam satu buku bernama Atas Nama Cinta, merupakan sebuah genre baru dalam sastra Indonesia. Denny JA menyebutkan atau memberi nama karyanya ini dengan sebutan Puisi Esai, sebuah nama yang sebenarnya apabila kita pahami secara umum dan sederhana merupakan sebuah nama yang sangat bertentangan satu sama lainnya.  

Saya pribadi merupakan orang yang terlambat dalam mengetahui munculnya Puisi Esai ini. Saya memang seorang yang suka membaca dan membaca sebuah karya sastra, puisi khususnya, merupakan satu dari beberapa jenis bacaan yang saya sukai. Akan tetapi saya pun tidak terlalu mendalami puisi itu sendiri, saya hanya terkhusus menyukai karya satra, yang dalam hal ini berjenis puisi, hanya sebatas pada puisi yang dituliskan oleh Taufik Ismail dan juga satra karya dari penyair ternama Kahlil Gibran. Alasannya sederhana saja, saya tidak terlalu menyukai kata-kata yang memiliki makna terlalu luas dalam sebuah penulisan konotatif ataupun dengan sejuta macam majas lainnya. 
Di sisi lain, saya suka dengan konotasi, saya suka dengan permainan kata juga makna, saya suka majas, akan tetapi apabila itu ditampilkan secara penuh, utuh dan secara keseluruhan dari awal hingga akhir penulisan, otak saya terasa seperti pecah dibuatnya. Terlalu kompleks untuk saya urai! 

Saya lebih menyukai karya sastra yang ditulis dengan lugas dan mudah untuk saya cerna serta pahami dan sejauh itu saya baru menemukan kedua hal itu dalam setiap karya yang dituliskan oleh Taufik Ismail dan Kahlil Gibran. Taufik Ismail menuliskan mayoritas puisinya, saya katakan mayoritas tidak semuanya, dengan gaya penulisan seperti menulis sebuah cerita tapi tetap menjaga rima. Sungguh sangat indah dan juga pesannya mampu untuk tersampaikan dengan cepat dan tepat. Sedang Kahlil Gibran dengan prosa lirisnya, lebih terasa berat dan lebih banyak menggunakan bahasa-bahasa yang konotatif tapi saya pribadi masih mampu untuk memahami itu semua, hal yang paling saya sukai dari setiap karya Kahlil Gibran adalah permainan kata ketika dia mampu untuk menggambarkan satu situasi ke dalam beberapa paragraf dengan sangat baik dan sama sekali tidak melenceng. Indah! 

Saya pernah membaca dan bahkan saya mempunyai salah satu buku kumpulan puisi Chairil Anwar, sungguh indah tapi juga sungguh sulit untuk saya pahami. Perlu beberapa kali saya membacanya hingga akhirnya saya mampu untuk mengerti apa yang dituliskan oleh seorang Chairil Anwar atau setidaknya sedikit saja mengerti tentang itu semua. Jadi ketika ada seorang teman yang memberitahu saya tentang Puisi Esai, saya pun tertarik untuk mengetahuinya lebih lanjut. 

Singkat ceritanya, pada waktu itu, teman saya memberitahu bahwa ada sebuah lomba penulisan Puisi Esai yang diselenggarakan oleh salah satu pihak dan dia berpikir bahwa tidak ada salahnya apabila saya mengikuti perlombaan itu. Dia memberikan saya link atau alamat web untuk saya nantinya mendapatkan informasi lebih banyak lagi mengenai perlombaan itu. Saya pribadi tidak terlalu yakin dengan kemampuan saya dalam menulis terlebih menulis sebuah puisi apabila untuk mengikuti sebuah perlombaan karena saya menulis hanya untuk sebuah hobi dan saya hanya menulis ketika saya memang benar-benar ingin menulis, saya tidak menulis karena dorongan lain kecuali karena memang ingin menulis, tak bisa untuk dipaksakan dan saya pun tidak pernah tau kapan saya akan bisa menulis secara pasti dan spesifik waktu. Tak ada target, semua mengalir begitu saja. 
Sehingga bukan perlombaannya yang menarik hati ini untuk kemudian datang mengunjungi situs web yang diberikan oleh teman saya itu, tapi justru keinginan saya untuk lebih mengetahui apa sebenarnya dan seperti apa yang dinamakan dengan Puisi Esai. 

Akhirnya tak berselang lama setelah saya masuk dan membaca apa yang ada dalam situs itu saya pun memutuskan untuk membeli buku kumpulan puisi esai, yang berjudul Atas Nama Cinta. Ya, saya ingin lebih untuk memahami jenis puisi yang katanya baru. Buku telah mampu saya beli dan kemudian saya baca keseluruhan isi dalam buku tersebut hingga akhirnya saya pun jatuh cinta pada jenis puisi seperti itu. 

Puisi esai mampu untuk memuhi hasrat saya terhadap sastra yang indah tapi tetap lugas dan mudah untuk saya cerna. Puisi esai tetap mampu untuk menghadirkan permainan kata dalam rima tapi sekali lagi sangat mudah untuk saya pahami. Sekilas puisi esai ini mirip dengan puisi-puisi yang ditulis oleh Taufik Ismail tapi apa yang menjadikannya berbeda adalah Puisi Esai ini didasari oleh sebuah semangat dari seorang Denny JA untuk membuat sebuah karya satra yang mampu untuk menggabungkan antara Fakta dan Fiksi atau menghadirkan Fakta dalam sebuah tulisan Fiksi. Karena fiksi dianggap sebagai sebuah medium yang paling tepat dan paling mudah untuk dipahami masyarakat bahkan untuk fakta yang rumit sekalipun. Puisi Esai tetap mengedepankan Fakta, ditulis berdasarkan peristiwa, situasi, serta kondisi yang memang benar-benar terjadi lengkap dengan segala catatan kaki yang menyertainya sebagai bukti berita bahwa memang hal itu ada dan nayata akan tetapi disajikan melalui alur cerita, tokoh yang Fiksi, yang ditampilkan dalam beberapa ( banyak ) babak, dengan menggunakan dan memilih kata yang indah, juga berima sehingga pembaca pun mampu dengan mudah merasakan emosi serta pesan yang ingin disampaikan oleh penulis. Ya, itu-lah pemahaman saya terhadap apa yang dinamakan Puisi Esai. Setidaknya itu merupakan pemahaman yang paling sederhana, dibandingkan dengan pemahaman yang sangat rumit dan berat yang dituliskan oleh Sapardi Djoko Damono, Sutardji Colzoum Bachri dan Ignas Kleden dalam epilog di buku Atas Nama Cinta itu. Epilog yang saya pikir hanya akan mampu untuk terpahami secara utuh oleh mereka-mereka yang mempunyai sarjana dalam ilmu kesusastraan, tidak untuk orang seperti saya. 

Saya menyukai bahkan jatuh cinta pada kemasannya atau jenisnya, yaitu Puisi Esai tapi tidak terhadap isi atau pesan serta semangat yang ingin disampaikan oleh seorang Denny JA. Lima buah puisi esai yang terdapat dalam buku Atas Nama Cinta mempunyai tema utama yang sama yaitu tema tentang diskriminasi. Untuk diskrimansi terhadap kaum Tionghoa dan TKW di luar negeri, saya sangat setuju dan mendukung diskriminasi itu untuk sesegera mungkin dihilangkan akan tetapi untuk tiga diskrimnasi selanjutnya yang dihadirkan oleh Denny JA, yaitu diskriminasi terhadap kaum Ahmadiyah, Homoseks dan Pernikahan Beda Agama, saya sungguh memiliki cara berpikir yang bertolak belakang dengan seorang Denny JA. 
Karena bagi saya agama tetap harus berada di atas apapun, bahkan tidak untuk cinta sekalipun, yang walaupun katanya cinta itu lebih dulu ada dan lebih tua umurnya dari agama. Bagi saya dan seharusnya bagi setiap manusia di dunia, agama merupakan hal utama, yang tak bisa untuk ditawar bahkan disesuaikan, yang ada adalah segala sestau yang terjadi harus tunduk dan disesuaikan dengan agama yang ada! Karena kita ini adalah hasil ciptaan-Nya dan secara logika sangat sederhana sebagai makhkuk yang telah diciptakan, kita harus tunduk pada Dzat yang telah menciptakan kita dan taat serta tunduk patuh terhadap agama merupakan caranya karena dalam agama terdapat segala apa yang diperintah oleh-Nya dan juga segala apa yang telah dilarang oleh-Nya. 
Terkadang hal itu bertentangan dengan logika tapi itu-lah agama, tak akan pernah mampu untuk kita pahami hanya oleh logika semata, butuh lebih dari sekedar logika tapi juga Iman ( kepercayaan dan keyakinan dalam hati ) untuk kita mampu mengerti dan paham tentang agama untuk akhirnya kita akan mampu dengan iklas mengerjakan apa yang telah menjadi ketentuan agama, walaupun hal itu bertentangan dengan nafsu dan hasrat serta rasio kita sebagai seorang manusia. 

Di sisi lain saya pun termasuk orang yang setuju dengan apa yang dinamakan dengan diskriminasi tapi saya hanya setuju apabila diskriminasi itu dilakukan untuk sesuatu hal yang benar. Ketika ada orang yang menyimpang, seperti misalnya menjadi Gay, aliran sesat dan juga menikah beda agama, maka jelas orang-orang itu perlu untuk kita diskriminasi. Tapi ketika diskrimansi itu dilakukan kepada sekelompok orang yang sama sekali tidak salah, yaitu misalnya kaum Tionghoa dan TKW, maka jelas diskriminasi itu harus segera untuk dimusnahkan. Jadi, kita jangan memerangi hanya dalam sekedar tatanan kata diskrimasi itu, tapi kita harus terlebih dulu paham substansi dan materi pokok yang menjadi bahan diskriminasinya. Apabila memang yang menjadi korban diskriminasi itu adalah orang-orang yang telah secara jelas dan nyata bersalah, terlebih dalam aturan agama, kenapa kita masih harus membela mereka? Mau di bawa kemana dunia ini bila tanpa agama dan aturan? 

Kebebasan itu omomg kosong bila tanpa tanggung jawab dan tanggung jawab itu tidak hanya sebatas mau, mampu serta berani mempertanggung jawabkan apa yang telah kita perbuat akan tetapi lebih dari itu kita pun harus mampu menghormati kebebasan orang lain karena hakikat dari kebebasan adalah tidak ada kebebasan yang mutlak karena apabila kebebasan kita laksanakan secara penuh dan mutlak maka yakin-lah kita akan melanggar kebebasan orang lain. Walaupun memang dalam setiap puisi esai yang Denny JA tuliskan, dia berusaha untuk tidak menjadi hakim akan tetapi secara tersirat pesan dan makna itu tetap tidak mampu untuk terelakan. 

Jadi, saya pribadi sangat menyukai genre sastra seperti ini dan sangat mengapresiasi apa yang ditulis oleh seorang Denny JA bahkan saya menjadi berhasrat untuk mampu untuk menulis dan membuat sebuah Puisi Esai dan bila saat itu tiba sungguh hal itu akan menjadi sebuah kebanggan bagi saya akan tetapi dari segi isi atau tema yang dihadirkan serta semangat yang tersirat yang ada dalam lima puisi esai itu, saya tidak sepenuhnya setuju karena bagi saya pribadi dan sudah seharusnya bagi setiap manuisa di dunia ini, agama itu harus berada di atas segala-galanya karena kita ini Makhluk yang diciptakan oleh-Nya dan oleh sebab itu kita harus taat dan patuh terhadap Dia yang telah menciptakan kita. 
Se-simple itu, kawan!

Komentar

  1. tidak terlalu menyukai konotasi dan juga menyukai konotasi.. apa gag ambigu nii kang?!?!? :(

    maaf bukannya asal slonong boi nii :( salam kenal iia..

    BalasHapus
  2. sepertinya menjadi wajib untuk saya miliki... !

    ada harganya mungkin?

    BalasHapus
  3. @belajar photoshop : hehehe...salam kenal juga ya kawan, blog nya keren bos! foto2 nya ngeri! salut lah!! ;)

    enggk slonong boy kok, dan jawabannya ada di kalimat selanjutnya kok, yaitu saya tidak suka konotasi tapi tidak konotasi yang ditampilkan secara penuh, utuh dan secara keseluruhan dari awal hingga akhir. :)

    @a.i.r. : harga pastinya saya lupa karena saya pun tidak beli sendiri tapi dibelikan oleh kakak saya. hhe... harganya sekitar 50-60 ribu.

    BalasHapus
  4. Nice share sob, heemmm jadi ingin punya......^_^

    BalasHapus
  5. @cyan fotografi dan Hzndi : terima kasih bnyak sudah sudi untuk berkunjung dan membaca kawan. ;)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ibadalana uliy ba’sin syadid

Selasa, 22 Juli 2014 22.00 WIB Saya akan menampilkan atau mem- posting tulisan dari Bapak Usep Romli , Pengasuh Pesantren Budaya "Raksa Sarakan" Garut. Tulisan ini merupakan tulisan di kolom Opini , harian Republika yang diterbitkan pada hari Selasa, 22 Juli 2014. Beliau menulis tentang (satu-satunya) cara untuk bisa mengalahkan zionis Israel. sehingga tulisannya pun diberi judul, Mengalahkan Zionis Israel . Berikut ini tulisannya saya tampilkan penuh tanpa ada sedikit pun saya kurangi atau tambahkan. "Mengalahkan Zionis Israel" Hari-hari ini, bangsa Palestina di Jalur Gaza sedang dibombardir pasukan Zionis-Israel. Nyaris tak ada perlawanan sama sekali, karena Palestina tak punya tentara. Hanya ada beberapa kelompok sipil bersenjata yang berusaha bertahan seadanya. Negara-negara Arab yang tergabung dalam Liga Arab tak berdaya. Begitu pula negara-negara berpenduduk mayoritas Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI), tak da

Hercules dan Moral

The Legend of Hercules Minggu, 9 Februari 2014 10.10 WIB Cukup lama saya tidak menonton sebuah film di bisokop. Untuk sebagian orang, hal ini merupakan sebuah pemborosan karena kondisi yang ada di Indonesia memungkinkan kita untuk bisa menonton sebuah film dengan harga yang jauh lebih murah.  Di Indonesia kita masih bisa untuk mendapatkan sebuah DVD dengan harga yang sangat murah, sekitar 6 (enam) ribu rupiah ( bajakan tentunya tapi dengan kualitas gambar yang cukup baik ), bandingkan dengan harga yang harus dikeluarkan apabila kita menonton sebuah film di bioskop, sekitar 25 ribu – 50 ribu rupiah tergantung bioskop yang kita pilih. Saya pun menyadari hal itu tapi saya tentu juga memiliki alasan. Terlepas dari alasan idealis yang sebenarnya juga masih saya miliki, alasan utama yang ingin saya kemukakan disini adalah bahwa menonton sebuah film di bioskop bagi saya adalah sebuah penyegaran, sebuah hobi untuk melepas penat dan mendapatkan lagi beberapa semangat. Ya, hobi. Mung

Wahana Wyata Praja IPDN

Sejarah Singkat Wahana Wyata Praja Wahana Wyata Praja adalah organisasi internal Praja IPDN yang pada dasarnya mempunyai tugas dan fungsi sama dari tahun ke tahun, namun namanya berubah sesuai situasi dan kondisi pada masa angkatan tersebut. Nama organisasi praja yang terbentuk sejak awal berdirinya STPDN hingga IPDN adalah sebagai berikut: Manggala Corps Praja Angkatan I STPDN sampai dengan angkatan IV STPDN Organisasi ini bernama MANGGALA CORPS PRAJA, yang pimpinannya adalah Manggala Pati dengan tanda jabatan talikur berwarna merah, nama Manggala Corps ini hanya sampai pada angkatan IV saja, karena pada angkatan V organisasi internal Praja ini berubah nama menjadi WAHANA BINA PRAJA. Wahana Bina Praja Angkatan IV STPDN sampai dengan angkatan XVI STPDN Wahana Bina Praja ini pimpinannya bernama Gubernur Praja dengan tanda jabatan talikur berwarna biru lis kuning nestel dua, dari Wahana Bina Praja inilah mulai di bentuk berbagai instansi dan UKP yang di ang