Langsung ke konten utama

Kahlil Gibran






Profil Singkat Kahlil Gibran




Khalil Gibran ( nama lahir : Gibran Khalil Gibran, lahir di Lebanon, 6 Januari 1883 – meninggal di New York City, Amerika Serikat, 10 April 1931 pada umur 48 tahun) adalah seorang seniman, penyair, dan penulis Lebanon Amerika. Ia lahir di Lebanon (saat itu masuk Provinsi Suriah di Khilafah Turki Utsmani) dan menghabiskan sebagian besar masa produktifnya di Amerika Serikat.

Khalil Gibran lahir di Basyari, Libanon dari keluarga katholik-maronit. Bsharri sendiri merupakan daerah yang kerap disinggahi badai, gempa serta petir. Tak heran bila sejak kecil, mata Gibran sudah terbiasa menangkap fenomena-fenomena alam tersebut. Inilah yang nantinya banyak memengaruhi tulisan-tulisannya tentang alam.

Pada usia 10 tahun, bersama ibu dan kedua adik perempuannya, Gibran pindah ke Boston, Massachusetts, Amerika Serikat. Tak heran bila kemudian Gibran kecil mengalami kejutan budaya, seperti yang banyak dialami oleh para imigran lain yang berhamburan datang ke Amerika Serikat pada akhir abad ke-19. Keceriaan Gibran di bangku sekolah umum di Boston, diisi dengan masa akulturasinya maka bahasa dan gayanya dibentuk oleh corak kehidupan Amerika. Namun, proses Amerikanisasi Gibran hanya berlangsung selama tiga tahun karena setelah itu dia kembali ke Beirut, di mana dia belajar di College de la Sagasse sekolah tinggi Katholik-Maronit sejak tahun 1899 sampai 1902.

Selama awal masa remaja, visinya tentang tanah kelahiran dan masa depannya mulai terbentuk. Kesultanan Usmaniyah yang sudah lemah, sifat munafik organisasi gereja, dan peran kaum wanita Asia Barat yang sekadar sebagai pengabdi, mengilhami cara pandangnya yang kemudian dituangkan ke dalam karya-karyanya yang berbahasa Arab.

Gibran meninggalkan tanah airnya lagi saat ia berusia 19 tahun, namun ingatannya tak pernah bisa lepas dari Lebanon. Lebanon sudah menjadi inspirasinya. Di Boston dia menulis tentang negerinya itu untuk mengekspresikan dirinya. Ini yang kemudian justru memberinya kebebasan untuk menggabungkan 2 pengalaman budayanya yang berbeda menjadi satu.

Gibran menulis drama pertamanya di Paris dari tahun 1901 hingga 1902. Tatkala itu usianya menginjak 20 tahun. Karya pertamanya, "Spirits Rebellious" ditulis di Boston dan diterbitkan di New York City, yang berisi empat cerita kontemporer sebagai sindiran keras yang menyerang orang-orang korup yang dilihatnya. Akibatnya, Gibran menerima hukuman berupa pengucilan dari gereja Maronit. Akan tetapi, sindiran-sindiran Gibran itu tiba-tiba dianggap sebagai harapan dan suara pembebasan bagi kaum tertindas di Asia Barat.

Masa-masa pembentukan diri selama di Paris cerai-berai ketika Gibran menerima kabar dari Konsulat Jendral Turki, bahwa sebuah tragedi telah menghancurkan keluarganya. Adik perempuannya yang paling muda berumur 15 tahun, Sultana, meninggal karena TBC.

Gibran segera kembali ke Boston. Kakaknya, Peter, seorang pelayan toko yang menjadi tumpuan hidup saudara-saudara dan ibunya juga meninggal karena TBC. Ibu yang memuja dan dipujanya, Kamilah, juga telah meninggal dunia karena tumor ganas. Hanya adiknya, Marianna, yang masih tersisa, dan ia dihantui trauma penyakit dan kemiskinan keluarganya. Kematian anggota keluarga yang sangat dicintainya itu terjadi antara bulan Maret dan Juni tahun 1903. Gibran dan adiknya lantas harus menyangga sebuah keluarga yang tidak lengkap ini dan berusaha keras untuk menjaga kelangsungan hidupnya.

Di tahun-tahun awal kehidupan mereka berdua, Marianna membiayai penerbitan karya-karya Gibran dengan biaya yang diperoleh dari hasil menjahit di Miss Teahan's Gowns. Berkat kerja keras adiknya itu, Gibran dapat meneruskan karier keseniman dan kesasteraannya yang masih awal.

Pada tahun 1908 Gibran singgah di Paris lagi. Di sini dia hidup senang karena secara rutin menerima cukup uang dari Mary Haskell, seorang wanita kepala sekolah yang berusia 10 tahun lebih tua namun dikenal memiliki hubungan khusus dengannya sejak masih tinggal di Boston. Dari tahun 1909 sampai 1910, dia belajar di School of Beaux Arts dan Julian Academy. Kembali ke Boston, Gibran mendirikan sebuah studio di West Cedar Street di bagian kota Beacon Hill. Ia juga mengambil alih pembiayaan keluarganya.

Pada tahun 1911 Gibran pindah ke kota New York. Di New York Gibran bekerja di apartemen studionya di 51 West Tenth Street, sebuah bangunan yang sengaja didirikan untuk tempat ia melukis dan menulis.

Sebelum tahun 1912 "Broken Wings" telah diterbitkan dalam Bahasa Arab. Buku ini bercerita tentang cinta Selma Karami kepada seorang muridnya. Namun, Selma terpaksa menjadi tunangan kemenakannya sendiri sebelum akhirnya menikah dengan suami yang merupakan seorang uskup yang oportunis. Karya Gibran ini sering dianggap sebagai otobiografinya.

Pengaruh "Broken Wings" terasa sangat besar di dunia Arab karena di sini untuk pertama kalinya wanita-wanita Arab yang dinomorduakan mempunyai kesempatan untuk berbicara bahwa mereka adalah istri yang memiliki hak untuk memprotes struktur kekuasaan yang diatur dalam perkawinan. Cetakan pertama "Broken Wings" ini dipersembahkan untuk Mary Haskell.

Gibran sangat produktif dan hidupnya mengalami banyak perbedaan pada tahun-tahun berikutnya. Selain menulis dalam bahasa Arab, dia juga terus menyempurnakan penguasaan bahasa Inggrisnya dan mengembangkan kesenimanannya. Ketika terjadi perang besar di Lebanon, Gibran menjadi seorang pengamat dari kalangan nonpemerintah bagi masyarakat Suriah yang tinggal di Amerika.

Ketika Gibran dewasa, pandangannya mengenai dunia Timur meredup. Pierre Loti, seorang novelis Perancis, yang sangat terpikat dengan dunia Timur pernah berkata pada Gibran, kalau hal ini sangat mengenaskan! Disadari atau tidak, Gibran memang telah belajar untuk mengagumi kehebatan Barat.

Sebelum tahun 1918, Gibran sudah siap meluncurkan karya pertamanya dalam bahasa Inggris, "The Madman", "His Parables and Poems". Persahabatan yang erat antara Mary tergambar dalam "The Madman". Setelah "The Madman", buku Gibran yang berbahasa Inggris adalah "Twenty Drawing", 1919; "The Forerunne", 1920; dan "Sang Nabi" pada tahun 1923, karya-karya itu adalah suatu cara agar dirinya memahami dunia sebagai orang dewasa dan sebagai seorang siswa sekolah di Lebanon, ditulis dalam bahasa Arab, namun tidak dipublikasikan dan kemudian dikembangkan lagi untuk ditulis ulang dalam bahasa Inggris pada tahun 1918-1922.

Sebelum terbitnya "Sang Nabi", hubungan dekat antara Mary dan Gibran mulai tidak jelas. Mary dilamar Florance Minis, seorang pengusaha kaya dari Georgia. Ia menawarkan pada Mary sebuah kehidupan mewah dan mendesaknya agar melepaskan tanggung jawab pendidikannya. Walau hubungan Mary dan Gibran pada mulanya diwarnai dengan berbagai pertimbangan dan diskusi mengenai kemungkinan pernikahan mereka, namun pada dasarnya prinsip-prinsip Mary selama ini banyak yang berbeda dengan Gibran. Ketidaksabaran mereka dalam membina hubungan dekat dan penolakan mereka terhadap ikatan perkawinan dengan jelas telah merasuk ke dalam hubungan tersebut. Akhirnya Mary menerima Florance Minis.

Pada tahun 1920 Gibran mendirikan sebuah asosiasi penulis Arab yang dinamakan Arrabithah Al Alamia (Ikatan Penulis). Tujuan ikatan ini merombak kesusastraan Arab yang stagnan. Seiring dengan naiknya reputasi Gibran, ia memiliki banyak pengagum. Salah satunya adalah Barbara Young. Ia mengenal Gibran setelah membaca "Sang Nabi". Barbara Young sendiri merupakan pemilik sebuah toko buku yang sebelumnya menjadi guru bahasa Inggris. Selama 8 tahun tinggal di New York, Barbara Young ikut aktif dalam kegiatan studio Gibran.

Gibran menyelesaikan "Sand and Foam" tahun 1926, dan "Jesus the Son of Man" pada tahun 1928. Ia juga membacakan naskah drama tulisannya, "Lazarus" pada tanggal 6 Januari 1929. Setelah itu Gibran menyelesaikan "The Earth Gods" pada tahun 1931. Karyanya yang lain "The Wanderer", yang selama ini ada di tangan Mary, diterbitkan tanpa nama pada tahun 1932, setelah kematiannya. Juga tulisannya yang lain "The Garden of the Propeth".

Pada tanggal 10 April 1931 jam 11.00 malam, Gibran meninggal dunia. Tubuhnya memang telah lama digerogoti sirosis hepatis dan tuberkulosis, tapi selama ini ia menolak untuk dirawat di rumah sakit. Pada pagi hari terakhir itu, dia dibawa ke St. Vincent's Hospital di Greenwich Village.

Hari berikutnya Marianna mengirim telegram ke Mary di Savannah untuk mengabarkan kematian penyair ini. Meskipun harus merawat suaminya yang saat itu juga menderita sakit, Mary tetap menyempatkan diri untuk melayat Gibran.

Jenazah Gibran kemudian dikebumikan tanggal 21 Agustus di Mar Sarkis, sebuah biara Karmelit di mana Gibran pernah melakukan ibadah.

Sepeninggal Gibran, Barbara Younglah yang mengetahui seluk-beluk studio, warisan dan tanah peninggalan Gibran. Juga secarik kertas yang bertuliskan, "Di dalam hatiku masih ada sedikit keinginan untuk membantu dunia Timur, karena ia telah banyak sekali membantuku."

Beberapa karya populernya antara lain: Sang Pralambang (1920), Sang Nabi (1923), Pasir dan Buih (1926), Taman Sang Nabi (1933), Jiwa-Jiwa Pemberontak (1948), Suara Sang Guru (1958), Potret Diri (1959) dan Sayap-sayap patah.

SUMBER









Karya-karya Kahlil Gibran




In Arabic:

* Nubthah fi Fan Al-Musiqa (Music, 1905)
* Ara'is al-Muruj (Nymphs of the Valley, also translated as Spirit Brides and Brides of the Prairie, 1906)
* al-Arwah al-Mutamarrida (Spirits Rebellious, 1908)
* al-Ajniha al-Mutakassira (Broken Wings, 1912)
* Dam'a wa Ibtisama (A Tear and A Smile, 1914)
* al-Mawakib (The Processions, 1919)
* al-‘Awasif (The Tempests, 1920)
* al-Bada'i' waal-Tara'if (The New and the Marvellous, 1923)

In English, prior to his death:

* The Madman (1918)
* Twenty Drawings (1919)
* The Forerunner (1920)
* The Prophet, (1923)
* Sand and Foam (1926)
* Kingdom of the Imagination (1927)
* Jesus, The Son of Man (1928)
* The Earth Gods (1931)

Posthumous, in English:

* The Wanderer (1932)
* The Garden of the Prophet (1933, Completed by Barbara Young)
* Lazarus and his Beloved (Play, 1933)

Collections:

* Prose Poems (1934)
* Secrets of the Heart (1947)
* A Treasury of Kahlil Gibran (1951)
* A Self-Portrait (1959)
* Thoughts and Meditations (1960)
* A Second Treasury of Kahlil Gibran (1962)
* Spiritual Sayings (1962)
* Voice of the Master (1963)
* Mirrors of the Soul (1965)
* Between Night & Morn (1972)
* A Third Treasury of Kahlil Gibran (1975)
* The Storm (1994)
* The Beloved (1994)
* The Vision (1994)
* Eye of the Prophet (1995)
* The Treasured Writings of Kahlil Gibran (1995)

Other:

* Beloved Prophet, The love letters of Khalil Gibran and Mary Haskell, and her private journal (1972, edited by Virginia Hilu)





Inilah salah satu dari banyak kekurangan yang saya miliki, lebih dari sekedar bukti nyata akan ketidaksempurnaan diri ini. Saya memang mampu untuk mengingat segala apa kejadian yang terjadi di masa lampau, terlebih untuk segala kejadian yang menurut saya penting dan mempunyai kesan tersendiri dalam hati, entah itu suka maupun duka. Saya mampu untuk mengingatnya bahkan terkadang mengingat segala detail kecil dari apa yang telah terjadi itu akan tetapi beda halnya bila saya harus menyebutkan kapan segala peristiwa itu terjadi di masa lampau, saya terkadang dan bahkan sering untuk tidak mampu mengingat detail hari, tanggal, tahun serta waktu dari segala kejadian yang terjadi di masa lalu dan itu memang sering membuat saya pribadi sedikit rancu dalam mengurutkan segala peristiwa yang telah saya alami atau untuk sekedar menuliskan kembali itu semua dalam sebentuk sebuah kalimat diari.
Tapi, sudahlah, saya pikir itu bukan suatu masalah yang cukup besar, yang terpenting saya mampu untuk mengambil pelajaran dari segala apa yang telah saya alami daripada harus bersusah payah mengingat segala tanggal yang memang sudah tak mampu saya ingat hanya untuk sekedar membuat sistematis segala cerita yang ingin saya tuliskan.
I’m not a goddamn writer anyway, I’m just an ordinary man who loves to write!

Dan itu lah alasan kenapa pada tulisan ini, saya pun lagi-lagi tak mampu untuk memberikan suatu keterangan waktu yang lengkap tapi cerita ini bermulai ketika ( bila saya tidak salah ) saya duduk di bangku kelas XI di SMA Negeri 1 Sumedang, masa-masa SMA memang menjadi suatu masa-masa penuh dengan sesuatu yang baru bagi saya, titikbalik yang sedikit banyaknya berpengaruh dalam membentuk kepribadian saya seperti yang ada sekarang ini. Sehingga kini, tak begitu banyak perubahan yang saya alami karena dasarnya telah terbentuk agak kuat ketika di SMA dulu. Di saat itu lah saya mulai menyukai untuk menulis, dan di saat itu juga saya mulai semakin suka untuk membaca, tapi hingga saya duduk di bangku kelas XI, kegemaran saya untuk membaca masih sangat terbatas pada bacaan olahraga dan berita-berita nasional pada umumnya, belum begitu tertarik pada bacaan sastra. Walaupun memang saya mulai sedikit sering membaca novel-novel yang dimiliki oleh kakak saya. Dan dalam hal menulis pun sebenarnya saya sudah sedikit berlagak dengan sok membuat puisi-puisi, yang tak jelas aturannya. hehehe.... ( bisa anda liat dalam label Poetic Tragedy )
Tapi sekali lagi, saya belum benar-benar tertarik pada dunia sastra, dalam hal ini syair-syair berbentuk puisi, dsb. Dan hal itu berubah drastis ketika sahabat saya, saudara saya, Damarra Rezza menawarkan sebuah buku berjudul “Sayap-sayap Patah” karya dari seorang sastrawan bernama Kahlil Gibran. Ya, nama Kahlil Gibran tidak asing bagi saya, karena saya sering membaca kutipan-kutipan kata-kata mutiara miliknya dan sesaat setelah saya mendengar bahwa buku itu merupakan karya Kahlil Gibran saya dengan berani menebak bahwa buku itu akan berisi atau bertemakan mengenai Cinta, karena sejauh yang saya tau kata-kata mutiara yang sering saya baca hasil dari kutipan setiap tulisan Kahlil Gibran bercerita banyak tentang cinta.
Entah karena apa, saya pun tertarik dan akhirnya setuju untuk meminjam buku itu, sekali lagi saya katakan entah ada apa hingga akhirnya saya mau untuk membaca buku itu. Beberapa hari saya pinjam buku itu, tapi dalam beberapa hari itu belum sedikit pun saya membacanya. Dan pada suatu hari saya pun mulai memberanikan diri membuka selembar halaman dari buku berjudul “Sayap-sayap Patah” itu, terus saya baca halaman demi halamannya, terus saya saya hayati dan tanpa tersadar saya telah terhipnotis jauh ke dalam lautan kata-kata yang ada dalam buku itu. Kurang lebih dua jam adalah waktu yang saya perlukan untuk akhirnya mampu membaca habis kesemua halamannya, saya memang terkagum tapi sungguh saya belum terlalu paham apa yang sebenarnya menjadi makna yang terkandung di dalamnya. Sehingga saya pun mengulanginya, membaca lagi dari awal semua halamannya.

Dan akhirnya sedikit banyaknya saya mulai memahami apa yang menjadi tema besar dalam buku itu, dan tak memerlukan waktu lama bagi saya untuk jatuh cinta terhadap setiap kata yang ada di buku itu, dan akhirnya sejak saat itu pun saya mulai berani berkata dengan lantang bahwa saya telah jatuh cinta pada dunia sastra.

Orang lain mungkin akan berkata bahwa setiap satrawan itu hanya melebih-lebihkan segala apa yang terjadi, mereka terlalu menghambur-hamburkan setiap kata hanya untuk melukiskan sebuah benda yang sebenarnya terlihat biasa. Tapi justru itu lah yang membuat saya menjadi sangat menyukai setiap tulisan dari seorang satrawan, mereka mampu untuk menyusun kata-kata menjadi sebentuk kalimat panjang nan indah. Sebuah benda biasa mampu mereka lukiskan dengan sangat tepat, semua keindahan mereka tumpahkan secara lebih indah dan semua kesedihan juga mampu mereka ceritakan dengan lebih tragis. Ya, itu lah satrawan, karena bila tak lebay bukan sastrawan namanya. ( lebay yang bermakna tentunya )

Begitu juga seorang Kahlil Gibran, damn! I’m speechless! He’s just so great, so damn great! Semua kata-katanya mempunyai makna yang terlampau dalam, analoginya maut dan kiasannya tajam. Cerita cinta dan kehidupan mampu ia lukiskan secara nyata, membuat bayangan kita melayang tak terbatas, dia benar-benar membuat setiap orang yang membaca setiap karya-karyanya mabuk kepayang.
Saya kagum dan cinta terhadap karya-karyanya ( sejauh ini saya sudah membaca Sayap-sayap Patah, Jiwa-jiwa Pemberontak dan Tembang Keagungan ). Pemikirannya yang terkandung dalam setiap karyanya sedikit banyak memang telah mempengaruhi jalan pikiran saya, mempengaruhi sudut pandang yang saya gunakan untuk menjalani hidup ini, terlebih dalam mengarungi lautan cinta yang memang penuh dengan ombak besar.
Kahlil Gibran juga lah yang membukakan hati ini untuk jatuh cinta dan semakin haus untuk membaca setiap karya sastra lainnya. ( Taufik Ismail adalah salah satu sastrawan yang kemudian juga saya kagumi juga cintai )

Kahlil Gibran mampu untuk melihat segala sesuatunya dengan hati, dia tidak ingin suatu keindahan hanya semu terlihat oleh matanya. Dia juga mampu untuk berkata-kata melalui hati, dia tidak ingin mengungkapkan keindahan hanya sekedar terbatas oleh perkataan bibir semata. Dan dia juga mampu untuk mendengar melalui hati, dia tidak ingin hanya mendengarkan segala suara keindahan hanya terbatas oleh pendengaran telinga saja. Dia memaknai segala sesuatunya secara lebih, lebih indah ataupun lebih kelam. Dia ungkapkan segala jeritan jiwa serta cintanya melalui sindiran dan kiasan yang indah juga keras.

mmm...Sepertinya saya harus sesegera mungkin mengakhiri tulisan ini, karena segala pujian yang saya tuliskan ini justru hanya menjadi sebuah “hinaan” bagi seorang Kahlil Gibran, karena karya-karya nya sungguh tak mampu untuk kita puji oleh sekedar kata-kata fana belaka.

The end.

Komentar

  1. alah c dulur tulisanna menginspirasi wae uy,,
    hehehe

    lur urg join ah?
    nyieun blog soal pemikiran urg masing",kmaha?

    BalasHapus
  2. hehe...
    alhmdllh akh.
    tp salut lah urg ka ente mah, blog na aya wae di halaman pertama google, mntp lur!!
    iri urg. hhe....

    ide alus lur, der akh,...kmha realisasina??
    kontak via hape ath??

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ibadalana uliy ba’sin syadid

Selasa, 22 Juli 2014 22.00 WIB Saya akan menampilkan atau mem- posting tulisan dari Bapak Usep Romli , Pengasuh Pesantren Budaya "Raksa Sarakan" Garut. Tulisan ini merupakan tulisan di kolom Opini , harian Republika yang diterbitkan pada hari Selasa, 22 Juli 2014. Beliau menulis tentang (satu-satunya) cara untuk bisa mengalahkan zionis Israel. sehingga tulisannya pun diberi judul, Mengalahkan Zionis Israel . Berikut ini tulisannya saya tampilkan penuh tanpa ada sedikit pun saya kurangi atau tambahkan. "Mengalahkan Zionis Israel" Hari-hari ini, bangsa Palestina di Jalur Gaza sedang dibombardir pasukan Zionis-Israel. Nyaris tak ada perlawanan sama sekali, karena Palestina tak punya tentara. Hanya ada beberapa kelompok sipil bersenjata yang berusaha bertahan seadanya. Negara-negara Arab yang tergabung dalam Liga Arab tak berdaya. Begitu pula negara-negara berpenduduk mayoritas Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI), tak da...

D-IV atau S1 ?

Suatu malam pada hari Sabtu , tanggal 14, bulan Januari , tahun 2012, berlatar tempatkan teras masjid Al-Ilmi IPDN Kampus Kalimantan Barat, terjadi satu percakapan ringan sangat sederhana tapi kemudian mampu untuk membuat otak ini menjadi rumit karena terus memikirkan substansi dari apa yang diperbincangkan itu, terlalu rumit sehingga saya pikir perlu untuk dituangkan dalam sebuah narasi penuh kata, tidak berpetuah dan tidak juga indah. Tapi cukup-lah untuk sekedar berbagi ide dan informasi yang pastinya tidak sesat. Dan ini-lah percakapan singkat itu : HP ( inisial teman saya ) : “Dim, kamu lebih milih mana, S.IP atau S.STP ?” Saya : “mmm….pengennya sih S.IP” HP : “Kenapa, Dim? Kata orang kan kalo S.STP tuh lebih baik buat karir dan kata orang juga S.IP tuh lebih condong buat jadi dosen.” Saya : “Wah gak tau sih kalo masalah yang kayak gitunya, tapi saya ingin S.IP karena yang saya tau S.IP itu lebih mudah untuk nantinya kita mau nerusin ke S2, nah kalo S.STP itu gak semua unive...

Hercules dan Moral

The Legend of Hercules Minggu, 9 Februari 2014 10.10 WIB Cukup lama saya tidak menonton sebuah film di bisokop. Untuk sebagian orang, hal ini merupakan sebuah pemborosan karena kondisi yang ada di Indonesia memungkinkan kita untuk bisa menonton sebuah film dengan harga yang jauh lebih murah.  Di Indonesia kita masih bisa untuk mendapatkan sebuah DVD dengan harga yang sangat murah, sekitar 6 (enam) ribu rupiah ( bajakan tentunya tapi dengan kualitas gambar yang cukup baik ), bandingkan dengan harga yang harus dikeluarkan apabila kita menonton sebuah film di bioskop, sekitar 25 ribu – 50 ribu rupiah tergantung bioskop yang kita pilih. Saya pun menyadari hal itu tapi saya tentu juga memiliki alasan. Terlepas dari alasan idealis yang sebenarnya juga masih saya miliki, alasan utama yang ingin saya kemukakan disini adalah bahwa menonton sebuah film di bioskop bagi saya adalah sebuah penyegaran, sebuah hobi untuk melepas penat dan mendapatkan lagi beberapa semangat. Ya, hobi. ...