Definisi 'reshuffle'
Kabinet Indonesia Bersatu jilid Dua
KIB jilid Dua ( Reshuffle )
Reshuffle atau perombakan kabinet itu akhirnya benar-benar dilaksanakan oleh Presiden SBY. Indonesia yang menganut sistem pemerintahan presidensil, sesuai dengan amanat UUD 1945 Pasal 17 dan juga UU No. 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara, memang memberikan suatu hak penuh untuk presiden mengangkat serta memberhentikan menterinya sehingga menjadi suatu hak preogratif bagi seorang presiden di Indonesia dan bahkan seluruh negara yang menggunakan sistem pemerintahan presidensil untuk dapat merombak kabinetnya kapan pun dia mau apabila memang hal itu yang dia rasa perlu untuk dilakukan, tanpa ada suatu campur tangan ataupun intervensi dari pihak manapun atas nama kepentingan apapun juga. ( baca : Struktur Ketatanegaraan di Indonesia )
Presiden SBY melakukan langkah ini karena menurut penilaian beliau ada beberapa menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu jilid Dua bentukannya ini, yang tidak bekerja secara optimal sehingga dia rasa perlu untuk diganti atau digeser ke posisi yang dia pikir lebih pas dan diperkirakan akan lebih mampu untuk bekerja lebih baik lagi. Isu kinerja yang kurang memuaskan yang menjadi alasan utama untuk Presiden SBY merombak susunan kabinetnya ini memang diamini hampir oleh seluruh politisi, praktisi bahkan rakyat Indonesia. Bahkan jauh sebelum akhirnya Presiden SBY berkata akan merombak susunan kabinetnya, sudah sejak jauh-jauh hari pula isu reshuffle kabinet ini dihembuskan oleh berbagai kalangan yang secara jelas dan nyata menyuarakan pendapatnya akan kurang optimalnya kinerja beberapa menteri di dalam KIB jilid Dua ini.
Harus diakui memang, pemerintahan Presiden SBY untuk periode kedua ini kurang berjalan mulus atau setidaknya berjalan lancar seperti pada periode pertama yang lalu. Berbagai masalah silih datang mengganggu kestabilan pemerintahan Presiden SBY kali ini. Bila dulu pemerintahan Presiden SBY periode pertama mendapat banyak apresiasi mendapat begitu banyak sanjungan karena keberhasilannya memberantas korupsi dengan cukup signifikan dengan lembaga bentukannya yang menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) tapi kini itu semua justru menjadi berbalik menyerang Presiden SBY. Justru banyak kasus korupsi pada masa pemerintahan Presiden SBY saat ini yang dilakukan oleh orang-orang dekat Presiden SBY, entah itu kader-kader Partai Demokrat ( partai yang dia dirikan dan juga kendaraan politik Presiden SBY ), korupsi di lingkungan kementerian, dan bahkan kasus yang terjadi di lingkungan lembaga hukum itu sendiri.
Kasus-kasus itu semakin diperparah dengan tidak stabilnya kondisi atau situasi politik di pemerintahan pusat saat ini. Seperti yang kita ketahui, Partai Demokrat sebagai kendaraan politik Presiden SBY berkoalisi dengan Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), bahkan belakangan Partai Golkar ( PG ) pun merapat masuk ke dalam partai koalisi pendukung pemerintah. Secara hitungan matematis, dengan koalisi yang dibentuk oleh Partai Demokrat ini telah jauh dari kata cukup untuk membentuk suatu kestabilan pemerintahan, karena dengan koalisi seperti itu, maka suara di DPR telah sepenuhnya atau mayoritas menjadi milik pemerintah. Sehingga secara logika sederhananya, seharusnya pemerintahan Presiden SBY kali ini dapat berjalan lebih kondusif dan setiap program yang direncanakan oleh pemerintah dapat mulus berjalan secara efektif dan efisien. Akan tetapi, kenyataannya tidak demikian, partai-partai yang tergabung dalam koalisi itu ternyata tidak sepenuhnya mendukung pemerintahan Presiden SBY, mereka terlalu sering untuk berteriak vokal dan menentang segala apa yang dilakukan oleh pemerintah, koalisi itu menjadi percuma karena pada faktanya hanya kaum elite politiknya saja yang setia mendukung pemerintahan akan tetapi jauh ke dalam tubuh dan anggota partai politik yang tergabung dalam koalisi itu ternyata justru bertindak seperti partai oposisi.
Berpengaruh atau tidak, tapi hal-hal itu sedikit banyaknya membuat Presiden SBY menjadi seorang yang peragu, menjadi seorang pemimpin yang lambat dalam mengambil keputusan dan pada saat Presiden SBY mengambil suatu keputusan pun keputusan yang dia buat itu terkesan mengambang, dan tidak mengena kepada substansi permasalahannya. Ya, pada pemerintahan Presiden SBY kali ini terlihat jelas bahwa karakter kepemimpinan Presiden SBY itu kalem, cenderung konservatif dan mengambil jalan aman. Tidak mau terlalu banyak mengambil resiko, segala sesuatunya harus benar-benar diterima oleh masyarakat luas dan seminimal mungkin tidak terlalu mempengaruhi kondisi kondusif masyarakat banyak. ( baca : Menganalisis Pemerintahan yang Sedang Berjalan )
Dan karena hal itu pula, Presiden SBY menjadi banyak dikritik orang. Tapi, saya pun mencoba untuk mengerti kondisi dan situasi yang sedang dialami oleh beliau sekarang. Dalam artian sejak awal, sejak dibentuknya koalisi dan akhirnya dibentuknya Kabinet Indonesia Bersatu jilid Dua, disitu terlihat jelas bahwa karakter atau gaya kepemimpinan dari seorang Presiden SBY adalah sebisa mungkin untuk bisa mengakomodir kepentingan semua pihak, sebisa mungkin menciptakan suatu kestabilan dan suasana yang kondusif. Itu terlihat dengan gemuknya KIB jilid Dua yang berjumlah 34 menteri, jumlah maksimal sesuai dengan UU. No. 39/2008 Pasal 15. Jumlah yang banyak itu salah satu alasannya jelas adalah untuk bisa mengakomodir jatah partai koalisi dan juga jatah orang-orang praktisi nonpartai atau dari kalangan profesional.
Tapi, sekali lagi, akhirnya kesemua itu justru menjadi sebuah senjata makan tuan bagi pemerintahan Presiden SBY kali ini, hal itu justru balik menekan Presiden SBY sehingga pada akhirnya dia tidak bisa dengan leluasa bergerak menjalankan pemerintahannya.
Dan hal itu pula, yaitu mengenai gaya kepemimpinan yang coba juga Presiden SBY rubah, sehingga momentum reshuffle kabinet ini menjadi sebuah moment bagi pemerintahan Presiden SBY untuk merubah gaya lambat dan kurang cepat itu. Ya, setidaknya itu lah alasan kedua, selain masalah kinerja yang telah dia kemukakan.
Reshuffle telah dilaksanakan, tapi ternyata kritik itu justru datang lebih keras. Orang-orang baru atau pun orang lama yang digeser ke pos baru memang cukup membuat kalangan praktisi diam, tapi hal lain yang membuat para praktisi itu geram bukan main adalah keputusan Presiden SBY untuk juga mengangkat 13 Wakil Menteri bahkan ada kementerian yang memiliki dua wakil menteri sekaligus! KIB jilid Dua pada awalnya dulu juga menjadi kabinet pertama dalam era reformasi ( koreksi jika saya salah ) yang menggunakan “jasa” wakil menteri di dalam sebuah kementerian, hal itu bukan merupakan sebuah pelanggaran karena telah sesuai dengan UU. No. 39/2008 Pasal 10. Dan hal itu pun menjadi tidak terlalu dipermasalahkan oleh banyak kalangan karena pada waktu itu hanya 6 orang saja yang ditunjuk sebagai wakil menteri. Tapi, sekarang jumlah itu meningkat drastis menjadi 13 wakil menteri, kenaikan yang sangat signifikan dan jelas memang akan membebani keuangan negara. Sesuai dengan aturan perundang-undangan jabatan wakil menteri itu diisi oleh jabatan karir ( PNS ) yang setara dengan eselon IA. Maka dengan 34 menteri ditambah dengan 13 wakil menteri, jelas keuangan negara sangat terbebani dan semakin tepat lah negara Indonesia ini menjadi negara yang pengeluarannya paling banyak dihabiskan untuk biaya belanja pegawai.
Analisis saya kenapa Presiden SBY sampai dengan begitu sangat beraninya mengangkat 13 wakil menteri dengan tetap mempertahankan komposisi 34 menterinya, tidak lain dan tidak bukan sebagai sebuah bentuk kompromi. Karena beliau menyadari dengan sangat jelas, bahwa pos menteri sangat sulit untuk dilepasakan dari lobby-lobby politik juga sebagai cara beliau untuk membuat senang semua pihak yang telah mendukungnya, dalam hal ini tentu saja partai koalisi walaupun dalam reshuffle ini jumlah menteri dari PKS dan PD berkurang satu, tapi saya pikir itu tidak terlalu signifikan. Menyadari hal itu, menurut hemat saya, Presiden SBY “mengakali” kondisi seperti itu dengan cara mengangkat wakil menteri yang notabene merupakan suatu jabatan karir sehingga dimungkinkan untuk diisi oleh kalangan-kalangan praktisi yang secara jelas kompoten dan memiliki kemampuan dalam bidangnya. Tidak seperti para Menteri yang lebih kepada posisi pilitik, yang banyak diisi oleh kader-kader partai politik yang mungkin secara akademisi kurang begitu menguasai bidang kerjanya.
Hmm..entah lah, tapi itu lah sekelumit analisis saya, hasil dari pendidikan yang saya miliki, yang saya akui secara jelas dan sangat sadar jauh dari kata mumpuni. Tapi setidaknya saya mempunyai keberanian untuk mengungkapkan itu semua sehingga dimungkinkan untuk mendapat sebuah koreksi dan masukan berarti untuk berkembang menjadi lebih baik lagi. ( baca : Selamat Datang, kawan )
Dan akhirnya saya ingin berucap sedikit berpesan, agar setiap pihak, setiap orang, setiap praktisi dan semua orang yang berkepentingan bila berkesempatan atau dimintai memberikan sebuah komentar atau pendapat, untuk bisa mengkritik dengan bijak, memberikan suatu penilaian secara utuh, memberikan sebuah masukan sebagai sebuah solusi. Jangan justru hanya berkoar memanaskan suasana, memecah keheningan menjadi sebuah keributan. Begitu pula untuk semua media massa di Indonesia, cetak maupun elektronik, untuk benar-benar memposisikan sebagai sebuah sarana pemberi berita, biarkan opini itu dibentuk oleh masyarakat itu sendiri, jangan justru media massa itu menjadi sebuah tempat pembentuk opini, menjadi lebih kejam daripada sebuah berita gossip.
Ya, beritakan lah apa yang baik itu baik dan yang buruk itu buruk, jangan mendramatisir segala berita yang ada. Bertindak profesional dan bersikap proporsional.
nice info, btw support & keep write gan :d
BalasHapusjng lupa baca jg Daun Ubijalar Dongkrak Trombosit
mksh bnyk kawan. :)
BalasHapus