Langsung ke konten utama

Hisab dan Rukyah

Pengertian Hisab dan Rukyah


Rukyah adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal setelah terjadinya ijtima’ (konjungsi). Aktivitas ini dapat dilakukan oleh siapa saja dengan mata telanjang, teropong atau dengan alat bantu lainnya. Apabila hilal telah dapat dilihat, maka pada petang (magrib) waktu setempat sudah memasuki bulan baru hijriah.
Sedangkan Hisab adalah perhitungan secara matematis astronomis untuk menentukan posisi bulan dalam menentukan dimulainya awal bulan pada kalender hijriah.

Ditulis oleh Muhammad Nurul Ahsan (Al-Azhar University)

*catatan : saya merubah beberapa redaksi kata tapi sungguh tidak mengurangi atau menambahi isi tulisan yang ditulis oleh saudara Muhammad Nurul Ahsan. Perubahan itu hanya terhadap diksi tidak merubah substansi.

Jujur dari sekian banyak tulisan yang ada di Internet berkenaan dengan masalah ini, masalah perbedaan penetepan awal/akhir dari bulan Ramadhan di Indonesia, yang memang pasti membawa serta dua organisasi Islam terbesar yang ada di Indonesia, yaitu NU dan Muhamadiyah, tulisan ini-lah yang menurut saya sangat mampu untuk menjelaskan pokok permasalahan dengan rinci tapi praktis dan yang terpenting dari itu semua tulisan ini sungguh sangat mampu untuk menempatkan diri sebagai sebuah tulisan yang tidak menghakimi, benar-benar mampu untuk berdiri netral, tidak berputar dalam masalah tapi mampu untuk mengupasnya kemudian memberikan sebuah solusi cerdas. Hal yang saya pikir tidak mungkin untuk dilakukan.

Terlepas dari inti masalah yang ada, saya pribadi berpendapat ini merupakan contoh tulisan yang cerdas, patut dan wajib untuk dijadikan referensi. Informatif, tidak provokatif, membeberkan masalah tapi kemudian menawarkan altenatif solusi.

Fenomena menarik di Indonesia, menjelang bulan Ramadhan maupun lebaran, yang hampir terjadi setiap tahunnya adalah kontroversi penentuan awal bulan Ramadhan dan Syawal. Kontroversi ini terjadi di beberapa organisasi keagamaan dan lembaga pemerintahan yang ada di Indonesia. Untuk mengetahui masuknya awal bulan, ada beberapa organisasi di antara sekian banyak organisasi keagamaan bersikeras mengaplikasikan secara independen metodologi hisab maupun rukyat. Namun ada juga yang lebih memilih untuk melakukan kalaborasi antara keduanya. Ternyata, dinamika keagamaan seperti ini sulit dikendalikan. Apalagi masing-masing dari mereka sama-sama merasa telah mengantongi legalitas agama dan merasa sebagai kelompok yang mampu mengimplementasikan firman Allah dan sabda rasul-Nya. Sebuah realita yang patut disayangkan; bagaimana mungkin dalam sebuah negara mempunyai begitu banyak otoritas dalam memberikan rekomendasi masuknya awal bulan Ramadlan maupun Syawal, sebagai tanda umat Islam mempunyai kewajiban melaksanakan shaum dan berhari raya. Memang, sejauh ini, realita sosial masing-masing organisasi keagamaan masih mampu menunjukkan sikap toleransi, meskipun dalam tataran praktis di kalangan tertentu masih tetap terkontaminasi, sehingga perbedaan itu berpotensi menciptakan terjadinya sentimen keagamaan di luar paham kelompoknya. Inilah sebuah problem yang tentunya membutuhkan gagasan solutif agar semua pihak tidak terjebak pada pola berfikir partikular dan parsial sehingga mampu menciptakan pola berfikir multidimensional dan komprehensif.

Legalisasi Metodologi Rukyah dan Hisab

Membicarakan metodologi rukyah --dalam konteks Indonesia-- tentunya tidak lepas dari organisasi besar Nahdlatul Ulama (NU). Setiap menjelang bulan Ramadhan dan hari raya, organisasi ini secara konsisten menggunakan metode rukyah sebagai skala prioritasnya, daripada metode hisab. Legalitas metodologi rukyah yang digunakan bertendensi adalah al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 185 dan banyak Hadits yang secara eksplisit menggunakan redaksi “rukyah” dalam menentukan awal bulan Ramdhan dan hari raya. Oleh karena itu –menurut mereka, dengan mengacu pada pendapat mayoritas ulama—hadits mengenai rukyah tersebut mempunyai kapasitas sebagai interpretasi al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 185 tersebut di atas. Jika bentuk perintah pada redaksi Hadits sekaligus praktek yang dilakukan pada pereode nabi telah jelas menggunakan rukyah, mengapa harus menggunakan metode hisab?
Pada kesempatan lain, organisasi keagamaan semisal Muhammadiyah bersikeras menggunakan metodologi hisab dan meyakini bahwa metode ini sebagai metode paling relevan yang harus digunakan umat Islam dewasa ini. Argumen ini mengemuka salah satunya mengacu pada aspek akurasi metodologis-nya. Menurut mereka, polusi, pemanasan global dan keterbatasan kemampuan penglihatan manusia juga menyebabkan metode rukyah semakin jauh relevansinya untuk dijadikan acuan penentuan awal bulan. Semangat al-Qur’an adalah menggunakan hisab, sebagaimana terdapat pada surat al-Rahman ayat 5. Di sana menegaskan bahwa matahari dan bulan beredar dengan hukum yang pasti dan peredarannya itu dapat dihitung dan diteliti. Kapasitas ayat ini bukan hanya bersifat informatif, namun lebih dari itu, ia sebagai motivasi umat Islam untuk melakukan perhitungan gerak matahari dan bulan. Mengenai redaksi “syahida” dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 185 itu bukanlah “melihat” sebagai interpretasinya, namun ia bermakna “bersaksi”, meskipun dalam tataran praktis pesaksi sama sekali tidak melihat visibilitas hilal (penampakan bulan). Memang, banyak hadits secara eksplisit memerintahkan untuk melakukan rukyah, ketika hendak memasuki bulan Ramadhan maupun Syawal. Namun redaksi itu muncul disebabkan kondisi disiplin ilmu astronomi periode nabi berbeda dengan periode sekarang, dimana kajian astronomi sekarang jauh lebih sistematis sekaligus akurasinya lebih dapat dipertanggungjawabkan.
Nabi sendiri dalam sebuah hadisnya menyatakan bahwa: ”innâ ummatun ummiyyatun, lâ naktubu wa lâ nahsubu. Al-Syahru hâkadzâ wa hâkadzâ wa asyâra biyadihi”, Artinya: “Kita adalah umat yang ummi, tidak dapat menulis dan berhitung. Bulan itu seperti ini dan seperti ini, (nabi berisyarat dengan menggunakan tangannya)”.
Jadi, mempriotiaskan metode hisab merupakan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan pada pereode nabi.

Analisa, Solusi dan Penutup

Menurut hemat Penulis, metodologi hisab dan rukyah merupakan dua komponen yang mempunyai korelasi sangat erat dan hampir tidak dapat dipisahkan. Rasanya tidak tepat jika dalam penentuan awal bulan hanya murni menggunakan metode rukyah. Sebab, meskipun telah dilengkapi dengan teknologi teleskop, ada banyak problematika yang harus dihadapi, semisal adanya polusi, pemanasan global dan kemampuan mata yang terbatas, sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Begitu juga sebaliknya, tidak tepat jika dalam penentuan awal bulan hanya menggunakan metode hisab. Alasan paling mendasar adalah fakta empiris metodologi ini bermula dari sebuah riset para astronom, sedangkan obyeknya adalah "melihat" peredaran matahari dan bulan. Memang, dipandang dari akurasi metodologisnya, hisab lebih unggul dibanding rukyah. Tingkat kesalahan metodologi hisab jauh lebih kecil dibanding metodologi rukyah. Namun, bagaimanapun juga hasil ilmiah apapun tidak akan pernah dapat dipertanggungjawabkan jika pada akhirnya tidak sesuai dengan fakta. Telah jelas kontroversi metodologi hisab maupun rukyah --secara aplikatif-- merupakan persoalan furu’iyyat (hukum cabang). Tentunya perbedaan-perbedaan yang ada tidak perlu dibesar-besarkan. Namun, fenomena kontroversial itu tidak dapat dibiarkan bagitu saja, mengingat dampak arus bawah yang timbul begitu signifikan. Pada dasarnya itsbat (keputusan) penetapan bulan Ramadhan maupun Syawal adalah hak preogratif pemerintah (Kementerian Agama) secara otoritatif. Apalagi telah jelas, pemerintah selama ini mampu mengakomodir semua aspirasi organisasi keagamaan di Indonesia, dengan mengundang masing-masing delegasi untuk melakukan rukyat sekaligus hisab. Jadi, sama sekali tidak salah, jika mulai dari sekarang masing-masing organisasi mencoba untuk menghormati otoritas pemerintahan ini. 
Wallahu a’lam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ibadalana uliy ba’sin syadid

Selasa, 22 Juli 2014 22.00 WIB Saya akan menampilkan atau mem- posting tulisan dari Bapak Usep Romli , Pengasuh Pesantren Budaya "Raksa Sarakan" Garut. Tulisan ini merupakan tulisan di kolom Opini , harian Republika yang diterbitkan pada hari Selasa, 22 Juli 2014. Beliau menulis tentang (satu-satunya) cara untuk bisa mengalahkan zionis Israel. sehingga tulisannya pun diberi judul, Mengalahkan Zionis Israel . Berikut ini tulisannya saya tampilkan penuh tanpa ada sedikit pun saya kurangi atau tambahkan. "Mengalahkan Zionis Israel" Hari-hari ini, bangsa Palestina di Jalur Gaza sedang dibombardir pasukan Zionis-Israel. Nyaris tak ada perlawanan sama sekali, karena Palestina tak punya tentara. Hanya ada beberapa kelompok sipil bersenjata yang berusaha bertahan seadanya. Negara-negara Arab yang tergabung dalam Liga Arab tak berdaya. Begitu pula negara-negara berpenduduk mayoritas Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI), tak da

Hercules dan Moral

The Legend of Hercules Minggu, 9 Februari 2014 10.10 WIB Cukup lama saya tidak menonton sebuah film di bisokop. Untuk sebagian orang, hal ini merupakan sebuah pemborosan karena kondisi yang ada di Indonesia memungkinkan kita untuk bisa menonton sebuah film dengan harga yang jauh lebih murah.  Di Indonesia kita masih bisa untuk mendapatkan sebuah DVD dengan harga yang sangat murah, sekitar 6 (enam) ribu rupiah ( bajakan tentunya tapi dengan kualitas gambar yang cukup baik ), bandingkan dengan harga yang harus dikeluarkan apabila kita menonton sebuah film di bioskop, sekitar 25 ribu – 50 ribu rupiah tergantung bioskop yang kita pilih. Saya pun menyadari hal itu tapi saya tentu juga memiliki alasan. Terlepas dari alasan idealis yang sebenarnya juga masih saya miliki, alasan utama yang ingin saya kemukakan disini adalah bahwa menonton sebuah film di bioskop bagi saya adalah sebuah penyegaran, sebuah hobi untuk melepas penat dan mendapatkan lagi beberapa semangat. Ya, hobi. Mung

Wahana Wyata Praja IPDN

Sejarah Singkat Wahana Wyata Praja Wahana Wyata Praja adalah organisasi internal Praja IPDN yang pada dasarnya mempunyai tugas dan fungsi sama dari tahun ke tahun, namun namanya berubah sesuai situasi dan kondisi pada masa angkatan tersebut. Nama organisasi praja yang terbentuk sejak awal berdirinya STPDN hingga IPDN adalah sebagai berikut: Manggala Corps Praja Angkatan I STPDN sampai dengan angkatan IV STPDN Organisasi ini bernama MANGGALA CORPS PRAJA, yang pimpinannya adalah Manggala Pati dengan tanda jabatan talikur berwarna merah, nama Manggala Corps ini hanya sampai pada angkatan IV saja, karena pada angkatan V organisasi internal Praja ini berubah nama menjadi WAHANA BINA PRAJA. Wahana Bina Praja Angkatan IV STPDN sampai dengan angkatan XVI STPDN Wahana Bina Praja ini pimpinannya bernama Gubernur Praja dengan tanda jabatan talikur berwarna biru lis kuning nestel dua, dari Wahana Bina Praja inilah mulai di bentuk berbagai instansi dan UKP yang di ang