*catatan : Sungguh sebuah keputusan yang berat ketika akhirnya satuan saya, satuan Nindya Praja memutuskan untuk tidak lagi berlangganan koran. Ya, karena kami hidup dalam dunia asrama maka pergerakan kami sungguh sangat terbatas tapi sebagai peserta didik apalagi sebagai seseorang yang nantinya akan berkecimpung dalam dunia pemerintahan maka haram hukumnya bagi kami untuk tidak mengikuti segala perkembanagan berita yang terjadi di dunia luar, sebuah informasi yang tak akan pernah mampu kami dapatkan lewat pembelajaran tatap muka bersama dosen maupun pelatih.
Terlepas dari itu semua, informasi atau pengetahuan umum merupakan sesuatu hal yang wajib selalu kita ikuti karena hal itu akan membuat kita peka terhadap segala apa yang terjadi di sekitar, melatih kita untuk juga mampu menganalisis segala permasalahan sehingga lambat laun kita pun bisa untuk terus berkembang menjadi seseorang yang dewasa.
Koran pun akan mampu untuk melatih kemampuan membaca kita sekaligus menambah kosakata sehingga kita semakin kaya akan pembendaharaan kata. Lalu kenapa kemudian kami memutusakan untuk tdak lagi berlangganan koran, walau memang hanya sebuah koran lokal?
Satu alasan yang mengemuka, yaitu permasalaan uang!
Tidak lebih, tidak juga kurang, semua tentang uang!
Pembenaran yang kemudian mereka ( orang-orang yang menyerukan agar tidak lagi berlangganan koran ) ajukan adalah informasi melalui dunia maya kini telah menjamur bahkan bisa update dalam hitungan detik sekalipun, jadi apa perlunya membeli koran?atau alasan lain yang tak kalah bombastis-nya adalah mereka yang "berpura-pura" menjadi sekelompok pecinta lingkungan yang berkata bahwa dengan tidak lagi berlangganan koran maka kita telah berpartispasi aktif menyelematkan hutan kita!
Bagi saya, memang benar berita on-line telah begitu banyak sehingga koran seperinya tidak lagi relevan dengan zaman kekinian tapi saya rasa sampai zaman apapun, koran akan tetap saya butuhkan. Tak akan ada yang mampu untuk mengalahkan gaya bahasa, gaya jurnalistik yang disuguhkan oleh koran. Saya selalu merasa bila dalam satu hari saya belum mampu untuk membaca koran maka pada hari itu saya pikir saya belum mendapatkan informasi apapun walau berkali-kali saya telah melihat situs berita on-line.
Semua masalah memang akan selalu ada solusinya, akhirnya saya memutuskan untuk berlangganan Koran Harian Kompas tapi dalam bentuk atau versi digital.
Lalu apa beda dengan situs berita on-line?
jelas berbeda karena Koran digital yang ditawarkan oleh Kompas adalah koran yang sama persis seperti yang mereka cetak! sungguh tidak sedikit pun mereka kurangi, sehingga ini hanya berbeda dalam bentuk tampilan, digital dan cetak!
Dan pada hari ini, Selasa, tanggal 9, bulan Oktober, tahun 2012, saya menemukan sebuah artikel yang menurut saya sangat menarik, sesuai dengan semangat yang saya rasakan sehingga saya wajib untuk kembali mem-posting-nya.
Baca : Ny. Siami, UN 2009/2010
Tersebab oleh UN
Siapakah
sesungguhnya pemegang kendali pembelajaran dalam sistem pendidikan di
negeri ini? Guru di sekolah, kurikulum pendidikan, ataukah para penentu
kebijakan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan?
Buku-buku
teks yang memuat berbagai teori didaktik-metodik, yang tentu didukung
pengalaman empirik di berbagai belahan dunia, selalu menempatkan guru
sebagai simpul awal sekaligus akhir dari keberhasilan pencapaian tujuan
pendidikan. Kurikulum dan infrastruktur pendidikan memang penting,
tetapi ia hanyalah alat untuk mencapai tujuan. Adapun penentu kebijakan
lebih dimaksudkan sebagai fasilitator untuk mendinamisasikan arah yang
ingin dituju.
Masalahnya,
di negeri ini fungsi dan peran hakiki guru sebagai pendidik sudah
bergeser jauh. Di tengah rezim pendidikan yang lebih mendewa hasil
daripada proses, ditandai penyelenggaraan ujian nasional (UN) sebagai
penentu kelulusan, proses pembelajaran tak lagi tertuju pada upaya
pemahaman dan penguasaan materi ajar yang aplikatif untuk menatap
kehidupan di luar kelas. Apa yang disebut proses belajar-mengajar kini
lebih terfokus pada upaya bagaimana bisa keluar sebagai pemenang,
menaklukkan seperangkat model soal pilihan berganda yang akan menjadi
penentu kelanjutan masa depan persekolahan peserta didik ke level
berikutnya.
Fungsi guru
sudah direduksi sedemikain rupa dan lebih diposisikan sekadar sebagai
pengajar. Model dan strategi belajar pun penuh siasat, bagaikan sekompi
pasukan tempur yang terjun ke medan perang untuk menaklukkan musuh
bersama bernama UN. Latihan-latihan menyiasati model-model soal sudah
jamak dilakukan. Proses pengerdilan pun terjadi. Bahkan, di banyak
tempat, sejumlah guru menipu diri sendiri dengan ikut berbuat curang
hanya agar anak didiknya lolos dari jerat UN.
Hak dan tanggung jawab mereka sebagai pendidik sudah tergerus
kepentingan jangka pendek.
Proses
pembelajaran tak lagi diorientasikan untuk mengembangkan
potensi-potensi kemanusiaan anak. Ketika imajinasi disumbat, pendidikan
pun kehilangan maknanya sebagai bagian dari proses pembudayaan.
Dalam
diskusi panel Kompas bersama Lingkar Muda Indonesia di Bentara Budaya
Jakarta, 5 September 2012, kegundahan itu kian meruyak. Sekolah diakui
bukan lagi tempat yang menggairahkan untuk berkreasi. Seorang guru
peserta diskusi sampai pada tahap ”putus asa” untuk terus berwacana,
mengkritik, dan mengingatkan para pengambil kebijakan bahwa ada yang
tidak beres dengan pengelolaan pendidikan saat ini. Terlebih menyangkut
kebijakan UN, yang secara masif sudah mengubah orientasi pembelajaran di
sekolah.
”Anehnya,
ketika sekolah dikelompokkan jadi tiga kategori, ujian akhirnya hanya
satu, yakni UN. Apakah ini masuk akal untuk orang sehat?” kata peserta
lainnya.
Tiga kategori dimaksud
adalah sekolah reguler, sekolah standar nasional (SSN), serta sekolah
bertaraf internasional/rintisan sekolah bertaraf internasional
(SBI/RSBI).
UN yang membelenggu
Sudah begitu banyak kata pengingat diucapkan, masukan disampaikan,
bahkan gugatan melalui pengadilan pun sudah dilayangkan. Namun, semua
itu tak didengar.
Putusan pengadilan yang memenangkan gugatan citizen lawsuit oleh 58
warga negara terhadap keberadaan UN, yang antara lain memerintahkan para
tergugat—Presiden, Wakil Presiden, Menteri Pendidikan Nasional (kini
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan), serta Ketua Badan Standardisasi
Nasional Pendidikan—agar terlebih dahulu ”…meningkatkan kualitas guru,
kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, akses informasi yang lengkap
di seluruh daerah di Indonesia, sebelum mengeluarkan kebijakan
pelaksanaan ujian nasional lebih lanjut… dan meninjau kembali sistem
pendidikan nasional”, juga tak digubris.
”Kalau
sistem pendidikan kita masih terus seperti ini, apakah mungkin kita
bisa membangun pendidikan yang memerdekakan? Menurut saya kita tak perlu
terlalu banyak lagi berwacana. Kita desak saja Menteri Pendidikan
supaya kembali ke jalan yang benar,” kata seorang guru peserta diskusi.
Guru
yang seharusnya jadi pemegang kendali pembelajaran di sekolah kini tak
lebih hanya alat dari rezim pendidikan yang mendewakan hasil ketimbang
pendidikan sebagai proses. Ketika keberhasilan anak diukur dari capaian
angka-angka; ketika proses pembelajaran sekadar instrumen untuk
memperoleh nilai tinggi; dan ketika kelulusan itu sendiri jadi penentu
masa depan peserta didik, maka kecederungan umum mengorientasikan
kegiatan belajar-mengajar pada pencapaian UN tak terelakkan.
Proses
pembelajaran yang seharusnya memberi tekanan pada aspek kreativitas,
pemecahan masalah, berdiskusi, presentasi dan riset—atau apa pun
istilahnya—terbatas, akhirnya terpinggirkan. Alih-alih melahirkan kerja
keras untuk menguasai materi ajar dalam rangka membangun pemahaman dan
pengaplikasian ilmu untuk kehidupan, yang terjadi justru mereka bekerja
keras terkait bagaimana menyelesaikan latihan-latihan soal.
Kini
UN sudah jadi belenggu dalam sistem pendidikan di negeri ini, terutama
dalam upaya pengembangan potensi anak.
Persentase kelulusan tinggi dengan nilai-nilai yang bagus, yang oleh
pemegang kebijakan serta-merta diklaim sebagai bukti mutu pendidikan
kita meningkat berkat UN, adalah kesimpulan yang naif. Fakta empirik
justru menampakkan gejala sebaliknya.
Lihatlah pencapaian siswa Indonesia dalam Programme for International Student Assessment (PISA) yang diselenggarakan oleh the Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD).
Tes yang tak sekadar mengukur kemampuan anak memahami mata pelajaran di
sekolah, tetapi juga bagaimana mereka mengaplikasikan pengetahuan itu
untuk menyelesaikan masalah-masalah di dunia nyata, menempatkan
anak-anak Indonesia di posisi ke-54-59 dari 65 negara pada 2006 . Pada
2009, tes kemampuan di bidang membaca, sains, dan matematika itu tetap
tak beranjak.
”Kalau tidak di posisi ke-6, ya, paling tinggi ke-9 dari bawah di antara 65 negara,” kata salah seorang panelis.
Mengutip
hasil kajian Profesor Iwan Pranoto, Guru Besar Matematika dari Institut
Teknologi Bandung, ternyata penyebab rendahnya kemampuan anak-anak
Indonesia menyelesaikan soal- soal yang diberikan dalam PISA terkait
erat dengan pelaksanaan model pembelajaran kita di sekolah yang sangat
dipengaruhi target-target pencapaian UN.
Tersebab
oleh UN, proses pembelajaran pun difokuskan pada kemampuan berpikir
rutin, suatu kemampuan berpikir tingkat rendah. Ini ditandai
kecenderungan kuat pada peningkatan intensitas belajar-mengajar lewat
pembiasaan penyelesaian latihan-latihan soal UN, di mana soal yang satu
dengan yang lain memiliki banyak kemiripan.
Hasilnya?
Anak-anak
Indonesia tidak diajar bagaimana menyelesaikan masalah dengan
kreativitas mereka. Jika pembelajaran semacam ini terus berlanjut,
anak-anak Indonesia tak akan siap menghadapi tantangan abad ke-21 yang
butuh dasar-dasar kemampuan berpikir tingkat tinggi untuk memecahkan
berbagai persoalan dunia nyata.
posting yang sangat bagus, dan bermakna sekali
BalasHapus@Jhony Tato : alhamdulillah, terima kasih banyak ya! ;)
BalasHapus