Langsung ke konten utama

Still Tragic ..

damn...
berawal dari sebuah tweet, dari jejaring sosial mikroblogging ternama, twitter, ada suatu permasalahan yang mengganjal. Ada sebuah kata sederhana mengusik hati dan mengundang emosi. Kata yang saya pikir tidak pada tempatnya dan tidak seharusnya. Kata yang berarti sangat lebih dari arti sesungguhnya karena cenderung akan diartikan lebih dari konteks yang dimaksud sesungguhnya. Dan sangat berpotensi juga mengusik hati orang lain yang sebenarnya tidak ada sangkut paut sama sekali.

Dengan segala pemikiran yang saya pikir sudah sangat cukup, dengan berbekal emosi yang memadai dan mental yang saya pikir juga tidak surut, sudah cukup untuk menghujat si pelaku bahkan untuk lebih dari itu sekalipun. Saya pun sesegera mungkin mencari informasi, mencari dia punya nomor pribadi, sehingga bisa kami berbincang lebih dalam, bertanya sebab musabab dengan segala argumentasi yang dia punyai.

Tapi, apa yang telah saya buat, segala niat jahat untuk menunjukan siapa yang paling hebat harus rusak dengan segala argumen yang dia kemukakan dengan nada bicara lebih dari meyakinkan dengan segala "demi" yang ia keluarkan, sehingga semakin membuat hati dan telinga ini memerah menahan malu, cukup besar untuk menahan segala kata, sehingga diam menjadi pilihan dan kalaupun ada kalimat yang mampu saya rangkai dari kata-kata yang sempat saya ucap, maka kalimat itu jauh dari kata sempurna dan perlu dari lebih keberuntungan untuk mampu dia pahami.

Dia terus berkata, terus mengeluarkan kata, terus semakin menyudutkan dan terus semakin mendorong ke lubang juram. Saya tak bisa melawan apalagi berbalik menyerang marah, karena itu benar adanya, karena apa yang dia bilang, tak bisa saya sanggah dengan berbagai macam bentuk kalimat apapun juga. Sekali lagi dia benar.

Dia berkata dengan satu sudut pandang, tapi saya tidak bisa menyerang itu karena dengan sudut pandang itu lah dia hidup dan melihat kehidupan. Dia berkata dengan satu emosi dan juga mengundang saya punya emosi, tapi emosi dia berlandaskan pada satu emosi dari satu hati yang sangat tersakiti. sedangkan emosi yang saya miliki hanya sebuah emosi kecil karena merasa harga diri terinjak mati, padahal hanya sebuah ungkapan egois diri.

dan secara keselurahan apa yang telah dia ungkapkan telah cukup adil ia kemukakan.
karena bukankah adil itu bukan sama rata sama rasa? tapi mampu menempatkan segala sesuatunya pada tempatnya?

mmm...
Saya salah untuk segala egois yang saya punya.
saya salah untuk segala harapan yang telah saya beri.
saya salah untuk segala cinta yang telah saya janji.
saya salah untuk segala sayang yang telah saya buang.
saya salah telah mengangkat tinggi ke awan.
saya salah telah menjatuhkan keras ke tanah.
saya salah dengan sejuta kesalahan saya lainnya.

Sedangkan dia hanya salah dengan satu kata saja, satu kata hasil dari akumulasi kekecewaan berjuta-juta kesalahan yang telah saya perbuat.

Jadi manakah yang benar? emosi dari satu kesalahan atau emosi dari berjuta-juta kesalahan?

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ibadalana uliy ba’sin syadid

Selasa, 22 Juli 2014 22.00 WIB Saya akan menampilkan atau mem- posting tulisan dari Bapak Usep Romli , Pengasuh Pesantren Budaya "Raksa Sarakan" Garut. Tulisan ini merupakan tulisan di kolom Opini , harian Republika yang diterbitkan pada hari Selasa, 22 Juli 2014. Beliau menulis tentang (satu-satunya) cara untuk bisa mengalahkan zionis Israel. sehingga tulisannya pun diberi judul, Mengalahkan Zionis Israel . Berikut ini tulisannya saya tampilkan penuh tanpa ada sedikit pun saya kurangi atau tambahkan. "Mengalahkan Zionis Israel" Hari-hari ini, bangsa Palestina di Jalur Gaza sedang dibombardir pasukan Zionis-Israel. Nyaris tak ada perlawanan sama sekali, karena Palestina tak punya tentara. Hanya ada beberapa kelompok sipil bersenjata yang berusaha bertahan seadanya. Negara-negara Arab yang tergabung dalam Liga Arab tak berdaya. Begitu pula negara-negara berpenduduk mayoritas Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI), tak da...

D-IV atau S1 ?

Suatu malam pada hari Sabtu , tanggal 14, bulan Januari , tahun 2012, berlatar tempatkan teras masjid Al-Ilmi IPDN Kampus Kalimantan Barat, terjadi satu percakapan ringan sangat sederhana tapi kemudian mampu untuk membuat otak ini menjadi rumit karena terus memikirkan substansi dari apa yang diperbincangkan itu, terlalu rumit sehingga saya pikir perlu untuk dituangkan dalam sebuah narasi penuh kata, tidak berpetuah dan tidak juga indah. Tapi cukup-lah untuk sekedar berbagi ide dan informasi yang pastinya tidak sesat. Dan ini-lah percakapan singkat itu : HP ( inisial teman saya ) : “Dim, kamu lebih milih mana, S.IP atau S.STP ?” Saya : “mmm….pengennya sih S.IP” HP : “Kenapa, Dim? Kata orang kan kalo S.STP tuh lebih baik buat karir dan kata orang juga S.IP tuh lebih condong buat jadi dosen.” Saya : “Wah gak tau sih kalo masalah yang kayak gitunya, tapi saya ingin S.IP karena yang saya tau S.IP itu lebih mudah untuk nantinya kita mau nerusin ke S2, nah kalo S.STP itu gak semua unive...

Hercules dan Moral

The Legend of Hercules Minggu, 9 Februari 2014 10.10 WIB Cukup lama saya tidak menonton sebuah film di bisokop. Untuk sebagian orang, hal ini merupakan sebuah pemborosan karena kondisi yang ada di Indonesia memungkinkan kita untuk bisa menonton sebuah film dengan harga yang jauh lebih murah.  Di Indonesia kita masih bisa untuk mendapatkan sebuah DVD dengan harga yang sangat murah, sekitar 6 (enam) ribu rupiah ( bajakan tentunya tapi dengan kualitas gambar yang cukup baik ), bandingkan dengan harga yang harus dikeluarkan apabila kita menonton sebuah film di bioskop, sekitar 25 ribu – 50 ribu rupiah tergantung bioskop yang kita pilih. Saya pun menyadari hal itu tapi saya tentu juga memiliki alasan. Terlepas dari alasan idealis yang sebenarnya juga masih saya miliki, alasan utama yang ingin saya kemukakan disini adalah bahwa menonton sebuah film di bioskop bagi saya adalah sebuah penyegaran, sebuah hobi untuk melepas penat dan mendapatkan lagi beberapa semangat. Ya, hobi. ...