Langsung ke konten utama

Awal yang Buruk di Bulan yang Baik.




Sebelum saya memulai menulis izinkan saya untuk menarik nafas sedalam mungkin sambil berharap hal itu akan membantu untuk menenangkan jiwa ini. Tidak, ini tidak untuk bertransformasi menjadi seorang yang alay atau berubah wujud menjadi makhluk yang lebay, tapi hal ini sungguh nyata saya lakukan karena memang saya butuh diri ini untuk tenang agar bisa berpikir jernih tidak untuk bersumpah serapah mengeluarkan segala macama kata-kata sampah.

Hmmm...for the record and maybe for your information, saya baru putus dengan pacar saya, tepatnya pada hari ini, Kamis (01/09/11), sekitar pukul 18.00 WIB setelah hampir 11 bulan kami bersama terhitung sejak 07/09/10. Tidak tau saya harus memulai dari mana, karena jujur saya sendiri bingung bagaimana caranya menyusun segala macam kata yang sebenarnya ada dalam otak, berterbangan dengan liar di dalam kepala atau bahkan berjuta rasa di dalam hati yang menunggu untuk diinterpretasikan dalam sebentuk kata-kata.

Saya akui ini bukan lah pertama kali saya putus dengan seorang wanita, saya sudah sembilan kali berpacaran dan berarti saya pun sudah sembilan kali merasakan putus, walaupun sebenarnya lebih. Karena sembilan kali itu saya hitung dari jumlah wanita yang saya pacari sedangkan pada realitanya, ada satu ketika saya mengalami sesuatu hal yang orang biasa sebut putus-nyambung. Tapi sudahlah, itu bukan merupakan tema utama yang hendak saya bahas. Dan walaupun ini bukan kali pertama saya putus, perasaan itu masih saja sama, masih sama membekasnya, masih sama membuat diri ini melamun, bersedih dan segala macam rasa duka lainnya. ( baca : It's All Over Now, The Songs of My Tragic Love ) Ini jujur tanpa ada sedikit pun rekayasa karena saya tidak akan pernah mau mengotori segala hasil tulisan saya dengan sebongkah kebohongan, saya selalu berusaha jujur dalam setiap apa yang saya tuliskan.

Dan rasa yang paling besar, paling sangat saya tidak sukai adalah kenyataan bahwa dengan memutuskan seorang wanita SAYA TELAH BERDOSA, SAYA TELAH BERDOSA BESAR.

Saya masih cukup sadar, thank God! Sekali lagi, saya masih cukup sadar dan waras untuk menyadari bahwa dengan memutuskan seorang wanita, atas dasar apapun, atas alasan apapun, pada hakikatnya saya telah berdosa, dosa besar bila boleh saya katakan. Saya telah berdosa karena dengan memutuskan suatu hubungan berarti saya telah mengkhianati segala janji yang telah saya katakan dan yang telah saya janjikan dengan penuh rasa meyakinkan. Itu berarti saya telah menjadi seorang pembohong dan lebih jauh lagi saya telah menjadi seorang yang munafik !
Dan saya pun berdosa karena telah menyakiti hati seorang wanita. Bagaimanapun wanita adalah makhluk yang sangat lembut, se-tomboy-tomboy-nya mereka, deep down in their hearts, mereka tetap lah seorang makhkluk yang lembut. Tak heran dan memang punya alasan khusus kenapa wanita selalu mendekati segala sesuatunya dengan pendekatan perasaan dan cenderung mengeyampingkan logika mereka. Ya, kedua alasan itu sudah cukup jelas untuk membuktikan bahwa saya telah berdosa. Dan itu lah kenapa saya selalu merasakan rasa duka yang sama ketika saya harus memutuskan seorang wanita.

Mungkin tanda tanya besar seketika datang menyeruak, bila sebegitu warasnya saya lalu kenapa saya masih terus bisa dan memilih untuk memutuskan seorang wanita bahkan untuk kesembilan kalinya? Bukankah dengan begitu berarti saya telah melakukan kesalahan yang sama? Bila begitu saya lebih bodoh dari seekor keledai sekalipun?
Izinkan saya untuk menjelaskan itu semua dan melakukan suatu pembelaan, tapi bukan merupakan suatu penyerangan ini hanya suatu bentuk pertahanan mencari suatu pembenaran.
Semua wanita pasti akan selalu mengutarakan dan berkata bahwa apa yang hendak saya tuliskan ini merupakan suatu alasan yang klasik, terlalu klise. Tapi, sekali lagi saya katakan dan yakinkan, INI SEMUA JUJUR dan bila perlu dan bila bisa, saya rela dan siap untuk melakukan suatu tes kejujuran untuk membuktikan ini semua. Saya memilih untuk memutuskan wanita ini, wanita yang telah dengan sangat baik hati menerima dan memaklumi segala kedaan yang ada dari konsekuensi berpacaran jarak jauh, karena saya merasa tidak sanggup untuk membuatnya bahagia. Ya, bahagia, suatun ukuran yang abstrak. Tapi, saya memutuskan untuk menyerah seperti ini, karena saya mencoba untuk realistis terhadap situasi yang ada saat ini dan di saat yang akan datang. ( baca : Realistis, bukan pesimistis ) Saya belum bisa untuk berubah. Di saat hubungan kita sudah hampir menginjak satu tahun pertemuan diantara kami berdua masih sangat bisa kami hitung, komunikasi kami masih sangat bergantung pada sms, dan entah kenapa saya masih belum bisa membagi waktu secara baik serta secara dewasa, sehingga dia masih terlalu banyak saya korbankan, saya menjadi sangat cuek terhadapnya, bahkan ketika dia membutuhkan saya untuk sedikit berkeluh kesah tentang kondisi badannya yang dia rasa sedang kurang baik. Secara materi maupun immateri, saya belum bisa memberikan dia apa-apa. Sedangkan saya yakin dia sangat membutuhkan apa-apa itu.

Saya kenal dia sedari SMA, kami sempat satu kelas ketika kelas X, lalu berbeda kelas ketika kelas XI dan XII tapi kelas kami selalu bersebelahan ketika itu, saya tau dia cukup baik, saya tau cara dia bersosialisasi, saya tau cara dia berteman, dan saya tau cara bagaimana dia berpacaran. Walaupun tidak secara mendetail tapi saya tau gambaran secara umumnya. Dengan situasi seperti ini, dengan intensitas pertemuan kami yang sangat jarang, jelas ini bukan merupakan tipe ideal untuk suatu hubungan bagi seorang dia. Tapi, memang saya menjadi salah, karena saya memutuskan untuk menyerah ketika dia telah mampu untuk mengerti kedaan ini, ya..saya salah karena hal itu. Tapi, saya pikir ini akan menjadi lebih baik untuk kedepannya nanti.

Hubungan jarak jauh merupakan pengalaman pertama bagi saya dan begitu juga dia. Tapi, untuk saya pribadi hubungan kali ini merupakan hubungan yang paling berat, di samping karena jarak itu tapi juga karena dalam hubungan ini, jujur, saya mencoba untuk merubah segala sifat jelek saya dalam menjalani suatu hubungan. ( baca : (mencoba) Berjiwa Besar ) Saya katakan jelek, karena saya pikir sifat itu terlalu berlebihan untuk dilakukan dalam suatu hubungan bernama “pacaran”. Sifat itu adalah keinginan saya untuk bisa mengatur sepenuhnya kehidupann, memegang penuh kendali dari kehidupannya. Ya, cenderung merupakan suatu sifat yang posesif dan oleh sebab itu saya coba untuk hilangkan. Tapi ternyata hal itu membuat saya menjadi menjalani hubungan dengan seperti tidak menjadi diri saya sesungguhnya, saya merasa menjadi seseorang yang lain dan hasilnya saya menjadi seseorang yang cuek. Penjelasan logis dengan sifat “posesif” saya itu adalah karena dalam menyangi seorang wanita saya tidak pernah bermain-main dengan itu, saya mencintai dan menyayanginya secara penuh dan sepenuh hati, sehingga sedikit pun saya tidak ingin kehilangan dirinya. Intinya sifat itu saya miliki karena memang berbanding lurus dengan besarnya rasa cinta yang saya miliki. Tapi, saya ingin untuk merubahnya karena ternyata tidak terlalu berhasil pada hubungan saya sebelumnya dan juga saya pikir tidak relevan dengan situasi pacaran jarak jauh yang pada saat itu saya alami. Tapi, sekali lagi, hal itu justru membuat saya bingung sendiri dan seperti hilang arah dalam menentukan hubungan ini.

Sifat saya tersebut mungkin sedkit banyak dipengaruhi oleh sifat manja yang saya miliki. ( baca : 19th ) karena sifat tersebut saya terdidik untuk mampu mendapatkan semuanya dan memegang kendali penuh terhadap semuanya. Dan mungkin karena “didikan” itu pula saya menjadi sangat ingin mendapatkan wanita yang lebih dewasa dari saya, mampu untuk lebih “cerewet” dan “bawel” dari saya, lebih banyak mengatur saya, dan segala macam bentuk kedewasaan lainnya.
Yeah, i need a woman not a girl !

Tapi sudahlah, yang jelas hal ini sedikit banyaknya juga semakin membuat diri ini bertambah bingung. Bagaimana dengan kisah cinta saya kedepannya? Apakah saya akan tetap bertahan dengan sikap “posesif”? atau berubah dalam kebingungan?
Tak tau lah, yang jelas, saya akan berusaha fokus untuk mencari seorang wanita dewasa, dan saya ingin bila nanti saya berpacaran lagi itu untuk yang terakhir kalinya. Sudah cukup rasanya saya berdosa karena memutuskan seorang wanita dan atas janji yang telah saya katakan.
I wish i could and I’m sure I can!! ( baca : AKU INGIN )

Yang jelas, satu hal yang ingin saya pertegas, saya tidak pernah berniat menjadi seorang pembohong, seorang yang munafik. Apa yang saya katakan adalah jujur dan benar adanya. Bila pada suatu ketika saya berkata bahwa saya sangat mencintai seseorang berarti itu benar adanya. It is what it is. Bila pun pada akhirnya saya tidak bisa terus melakukan semua kata-kata itu, itu semata-mata karena ketidaksempurnaan saya sebagai seorang manusia dan pikiran saya bahwa saya yakin, kekecewaan serta kesedihan yang saya buat ketika saya memutuskan seorang wanita itu akan terganti dengan kebahagiaan yang sangat lebih di masa yang akan datang dengan pria lain dan kebahagiaan itu akan jauh lebih besar daripada kebahagiaan apabila wanita tersebut terus bersama saya. Ya, saya yakini itu.

Pada akhirnya, ungkapan klasik lagi mungkin, tapi saya meminta maaf yang sebesar- besar nya pada Intan Maharani. Maaf untuk segala-galanya. Tapi, bila pun kamu marah, benci kepada saya, itu sangat wajar adanya. Tapi saya mohon dengan sangat, tolong hina saya, benci saya dan marahi saya juga dengan sewajarnya. Karena kita memulai hubungan ini dengan baik jadi mari kita akhiri juga dengan baik. Kita jaga segala sesuatunya yang sudah baik. Ini hanya perubahan status, dari berpacaran menjadi suatu persahabatan yang kata orang lebih kekal adanya. Kenang saya, ingat saya dengan sesuatu yang baik ( walaupun entah apa hal baik yang telah saya berikan ) segala sesuatu yang buruk termasuk perpisahan ini cukup jadikan sebagai sesuatu angin lalu.

Hmmm..selamat mencari yang baru, just open ur waiting list’s notes. Saya tahu dan yakin banyak lelaki lain yang lebih, sangat lebih dari saya, dari seorang Adima, yang mampu membahagiakan Intan dalam artian yang sebenar-benarnya. Tidak pengecut, tidak payah dan tidak bertanggung jawab seperti seorang ADIMA INSAN AKBAR NOORS.
Cause, I’m just another bastard, a man with a very big f****** mouth!
Once again, sorry ...

Goodbye, Intan.
Let’s be a very good friend.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ibadalana uliy ba’sin syadid

Selasa, 22 Juli 2014 22.00 WIB Saya akan menampilkan atau mem- posting tulisan dari Bapak Usep Romli , Pengasuh Pesantren Budaya "Raksa Sarakan" Garut. Tulisan ini merupakan tulisan di kolom Opini , harian Republika yang diterbitkan pada hari Selasa, 22 Juli 2014. Beliau menulis tentang (satu-satunya) cara untuk bisa mengalahkan zionis Israel. sehingga tulisannya pun diberi judul, Mengalahkan Zionis Israel . Berikut ini tulisannya saya tampilkan penuh tanpa ada sedikit pun saya kurangi atau tambahkan. "Mengalahkan Zionis Israel" Hari-hari ini, bangsa Palestina di Jalur Gaza sedang dibombardir pasukan Zionis-Israel. Nyaris tak ada perlawanan sama sekali, karena Palestina tak punya tentara. Hanya ada beberapa kelompok sipil bersenjata yang berusaha bertahan seadanya. Negara-negara Arab yang tergabung dalam Liga Arab tak berdaya. Begitu pula negara-negara berpenduduk mayoritas Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI), tak da...

D-IV atau S1 ?

Suatu malam pada hari Sabtu , tanggal 14, bulan Januari , tahun 2012, berlatar tempatkan teras masjid Al-Ilmi IPDN Kampus Kalimantan Barat, terjadi satu percakapan ringan sangat sederhana tapi kemudian mampu untuk membuat otak ini menjadi rumit karena terus memikirkan substansi dari apa yang diperbincangkan itu, terlalu rumit sehingga saya pikir perlu untuk dituangkan dalam sebuah narasi penuh kata, tidak berpetuah dan tidak juga indah. Tapi cukup-lah untuk sekedar berbagi ide dan informasi yang pastinya tidak sesat. Dan ini-lah percakapan singkat itu : HP ( inisial teman saya ) : “Dim, kamu lebih milih mana, S.IP atau S.STP ?” Saya : “mmm….pengennya sih S.IP” HP : “Kenapa, Dim? Kata orang kan kalo S.STP tuh lebih baik buat karir dan kata orang juga S.IP tuh lebih condong buat jadi dosen.” Saya : “Wah gak tau sih kalo masalah yang kayak gitunya, tapi saya ingin S.IP karena yang saya tau S.IP itu lebih mudah untuk nantinya kita mau nerusin ke S2, nah kalo S.STP itu gak semua unive...

Hercules dan Moral

The Legend of Hercules Minggu, 9 Februari 2014 10.10 WIB Cukup lama saya tidak menonton sebuah film di bisokop. Untuk sebagian orang, hal ini merupakan sebuah pemborosan karena kondisi yang ada di Indonesia memungkinkan kita untuk bisa menonton sebuah film dengan harga yang jauh lebih murah.  Di Indonesia kita masih bisa untuk mendapatkan sebuah DVD dengan harga yang sangat murah, sekitar 6 (enam) ribu rupiah ( bajakan tentunya tapi dengan kualitas gambar yang cukup baik ), bandingkan dengan harga yang harus dikeluarkan apabila kita menonton sebuah film di bioskop, sekitar 25 ribu – 50 ribu rupiah tergantung bioskop yang kita pilih. Saya pun menyadari hal itu tapi saya tentu juga memiliki alasan. Terlepas dari alasan idealis yang sebenarnya juga masih saya miliki, alasan utama yang ingin saya kemukakan disini adalah bahwa menonton sebuah film di bioskop bagi saya adalah sebuah penyegaran, sebuah hobi untuk melepas penat dan mendapatkan lagi beberapa semangat. Ya, hobi. ...