Langsung ke konten utama

Jangan Pernah Berubah

"hal yang paling menakutkan dari suatu kekerasan bukanlah kekerasan itu sendiri. melainkan apabila kaum wanita telah dengan jelas ataupun secara samar menyetujui dan melihat serta menilai kekerasan itu sebagai sesuatu yang lumrah atau wajar. Dan yang paling menakutkan adalah ketika kaum wanita sendiran itu."
( Wisdom, Justice, and Love part. III )

"Jangan pernah kau coba untuk berubah, tak relakan yang indah hilang lah sudah "
( ST 12 - Jangan Pernah Berubah )


Wanita dan Kekerasan

Okay, sebelum saya berbicara lebih jauh lagi, saya akan terlebih dahulu meminta anda semua yang membaca kalimat pembuka tadi, terkhusus bagi kaum pria, agar membaca kalimat tersebut penuh dengan pikiran bersih terhindar serta bebas dari pikiran-pikiran kotor khas pemikiran pria, sehingga penafsiran yang akan kita hasilkan akan menjadi sama tidak ada suatu beda apapun dari tema serta maksud yang sedianya memang hendak saya utarakan sekarang.

Hhe...sudahlah kawan, tidak usah terlalu menghiraukan semua kalimat pembuka diatas, kalimat-kalimat yang membentuk suatu paragaraf pertama dalam tulisan ini memang sengaja dibuat penuh dengan ketidakjelasan hanya untuk membuat tulisan ini terlihat panjang dan sekali lagi itu hanyalah sebagai sebuah prolog tidak jelas, sebuah pembuka dari sebuah tema yang akan saya jabarkan. ;)

Tapi, atas pemikiran yang telah saya tuliskan dalam paragaraf pertama tadi, di awal tulisan ini, akan coba saya jelaskan atau saya kemukakan terlebih dahulu pengertian dari kata “kekerasan”, sehingga menjadi sama dasar penafsiran yang akan kita gunakan. ( baca : Ko-teks Vs. Konteks )




Definisi Kekerasan




1. perihal (yg bersifat, berciri) keras;

2. perbuatan seseorang atau kelompok orang yg menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain;

3. paksaan;

http://www.artikata.com/arti-368182-kekerasan.html






Wanita, menurut persepsi saya, pendapat serta opini saya, merupakan makhluk yang lembut, cenderung merupakan makhluk halus, tempat segala sifat baik serta lembut bersemayam. Pembawa banyak masalah tapi juga pembawa cinta dan berjuta keindahan yang membuat hati si lawan bicara menjadi tentram serasa damai.
Perasaan mereka agungkan melebihi dan mengenyampingkan segala logika yang ada. Sehingga jelas wanita adalah makhluk yang sangat harus lelaki jaga.

Dengan segala kelembutan, keindahan, kecantikan, kebaikan serta beribu kata-kata postif lainnya, menjadi sangat tidak pas bila wanita harus disandingkan dengan kata “kekerasan”. Kata yang berarti destruktif, anarkis, urakan. Sangat pas bila halnya disandingkan dengan pria, yang lebih mengutamakan logika serta otot dalam setiap segi kehidupan dan cara penyelesaian konflik serta masalah yang mereka hadapi.

Dan kenapa saya berani mempersandingkan lembutnya wanita dengan kerasnya kata kekerasan? Itu karena ada satu hal yang sedikit banyaknya mengusik nurani serta ketentraman diri ini. Saya mungkin termasuk kaum konservatif, kaum kolot dalam melihat seorang wanita tapi saya yakini itu benar adanya. Menurut saya wanita dan pria jelas dua makhluk yang berbeda, tidak mungkin bisa untuk menjadi sama apalagi harus disamakan.
Emansipasi, tidak berarti pria dan wanita menjadi sejajar atau sama, tapi bagi saya, emansipasi berarti pria dan wanita mendapatkan kesempatan yang sama untuk mendapatkan apa yang telah menjadi hak serta melaksanakan apa yang telah menjadi kewajiban mereka. Dan hak serta kewajiban itu jelas berbeda adanya, tidak bisa dan tidak akan pernah bisa untuk menjadi sama. Karena pria dan wanita adalah memang berbeda dan saling berlawan tapi juga saling melengkapi. Mereka diciptakan sangat berbeda untuk mampu bersatu dalam segala perbedaan itu, sehingga bisa saling melengkapi. Seperti halnya langit dan bumi, siang dan malam, hitam dan putih, dsb. Jadi pria harus lah bertindak selayaknya seorang pria, menjadi kuat, menjadi seorang imam, dll. Serta wanita harus juga bertindak seperti selayaknya seorang wanita, menjadi lemah lembut, penyayang, feminim, dll. Tidak ada pria yang harus setengah menjadi wanita, menjadi kemayu misalnya dan tidak ada pula wanita yang menjadi setengah pria menjadi tomboy. Semuanya harus menjadi seperti apa yang telah mereka dapatkan dan diciptakan dari awal. Pria ya pria, wanita ya wanita!

Prinsip serta persepsi itu masih saya yakini tidak sedikit pun berubah apalagi pergi menghilang, setidaknya sampai sekarang ini. ( baca : Aku Ingin, Sindiran untuk disindir, Aurat. ) Sedari dulu hingga detik ini, saya masih tidak menaruh respect terhadap wanita yang senang dengan segala kegiatan serta aktifitas kaum pria dan kemudian secara sadar ataupun tidak mereka sadari tingkah laku serta kepribadian mereka pun berubah menjadi seorang “pria”. Saya masih bisa untuk menghormati dan bahkan secara jantan kagum kepada setiap wanita yang menyukai segala kegiatan pria, akan tetapi di luar itu, di luar kehidupan itu, tingkah laku serta kepribadian mereka tetap lah seorang wanita seutuhnya, wanita feminim bertutur baik berparas cantik dan berakhlak mulia.

Dan situasi itu telah berkembang, atas segala dasar pemikiran di atas, membuat saya mempunyai sebuah konsep bahwa hidup seorang wanita harus hidup dalam sebuah kehidupan yang nyaman, tenang, jauh dari segala kegiatan fisik, cukup hanya pada tekanan emosional, menguras emosi serta intelektual mereka saja. Tapi tentu bodoh bila kita hanya terpaku terhadap konsep sederhana tersebut. Dewasa ini bermacam-macam model pendidikan telah tercipta, sebagai suatu jawaban serta penyesuaian terhadap tantangan dunia kini yang sudah semakin keras. Hidup sudah tidak lagi sesederhana goresan pena, semua telah berubah, semua segi kehidupan penuh dengan segala macam bentuk tekanan. Tak bisa lagi sepenuhnya wanita berpangku tangan, wanita pun harus kuat, wanita pun harus mampu berdiri sendiri. Sehingga dunia pendidikan pun menyesuaikan dengan kondisi tersebut, dan wanita sendiri pun telah menyadari segala hal tersebut. Mereka mulai terbuka untuk menjadi wanita yang lebih kuat.

Dan atas tuntutan zaman pula, banyak wanita dengan penuh kesadaran memilih suatu profesi yang benar-benar memerlukan kekuatan fisik, dengan menempuh pendidikan yang juga penuh dengan didikan fisik. Sekali lagi itu merupakan keniscayaan, sebuah kenyataan.

Hal yang membuat saya takut adalah ketika semua didikan fisik yang mereka lalui itu justru mampu untuk merubah kepribadian mereka menjadi suatu pribadi seorang “pria”, mereka menjadi merasa sangat biasa dengan segala bentuk tindakan fisik cenderung keras dan bahkan suatu kekerasan dan bahkan menjadi pelaku nyata kekerasa tersebut.
Hei, Ini lah yang saya takutkan!

Wanita menurut saya, harus tetap berada di garda terdepan menolak segala bentuk kekerasan, tetap harus menangis ketika melihat orang-orang yang bertengkar, tetap harus ketakutan ketika terjadi suatu pertingkaian. Sekali lagi, segala hal pendidikan fisik yang wanita dapatkan hanyalah boleh menjadi pembentuk sikap mandiri dan mental kuat mereka untuk menjalani kehidupan. Tidak untuk merubah total semua kepribadian mereka, wanita tetap harus menjadi seorang wanita, tetap harus menjadi feminim. Walaupun apapun yang mereka hadapi dan alami!

It is my damn opinion, it is the way i describe a woman. ‘cause i love a woman as a woman.
So, be a strong woman dear and please don’t change. Just be fine and be a real beautiful woman.
I do care ‘bout you.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ibadalana uliy ba’sin syadid

Selasa, 22 Juli 2014 22.00 WIB Saya akan menampilkan atau mem- posting tulisan dari Bapak Usep Romli , Pengasuh Pesantren Budaya "Raksa Sarakan" Garut. Tulisan ini merupakan tulisan di kolom Opini , harian Republika yang diterbitkan pada hari Selasa, 22 Juli 2014. Beliau menulis tentang (satu-satunya) cara untuk bisa mengalahkan zionis Israel. sehingga tulisannya pun diberi judul, Mengalahkan Zionis Israel . Berikut ini tulisannya saya tampilkan penuh tanpa ada sedikit pun saya kurangi atau tambahkan. "Mengalahkan Zionis Israel" Hari-hari ini, bangsa Palestina di Jalur Gaza sedang dibombardir pasukan Zionis-Israel. Nyaris tak ada perlawanan sama sekali, karena Palestina tak punya tentara. Hanya ada beberapa kelompok sipil bersenjata yang berusaha bertahan seadanya. Negara-negara Arab yang tergabung dalam Liga Arab tak berdaya. Begitu pula negara-negara berpenduduk mayoritas Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI), tak da...

D-IV atau S1 ?

Suatu malam pada hari Sabtu , tanggal 14, bulan Januari , tahun 2012, berlatar tempatkan teras masjid Al-Ilmi IPDN Kampus Kalimantan Barat, terjadi satu percakapan ringan sangat sederhana tapi kemudian mampu untuk membuat otak ini menjadi rumit karena terus memikirkan substansi dari apa yang diperbincangkan itu, terlalu rumit sehingga saya pikir perlu untuk dituangkan dalam sebuah narasi penuh kata, tidak berpetuah dan tidak juga indah. Tapi cukup-lah untuk sekedar berbagi ide dan informasi yang pastinya tidak sesat. Dan ini-lah percakapan singkat itu : HP ( inisial teman saya ) : “Dim, kamu lebih milih mana, S.IP atau S.STP ?” Saya : “mmm….pengennya sih S.IP” HP : “Kenapa, Dim? Kata orang kan kalo S.STP tuh lebih baik buat karir dan kata orang juga S.IP tuh lebih condong buat jadi dosen.” Saya : “Wah gak tau sih kalo masalah yang kayak gitunya, tapi saya ingin S.IP karena yang saya tau S.IP itu lebih mudah untuk nantinya kita mau nerusin ke S2, nah kalo S.STP itu gak semua unive...

Hercules dan Moral

The Legend of Hercules Minggu, 9 Februari 2014 10.10 WIB Cukup lama saya tidak menonton sebuah film di bisokop. Untuk sebagian orang, hal ini merupakan sebuah pemborosan karena kondisi yang ada di Indonesia memungkinkan kita untuk bisa menonton sebuah film dengan harga yang jauh lebih murah.  Di Indonesia kita masih bisa untuk mendapatkan sebuah DVD dengan harga yang sangat murah, sekitar 6 (enam) ribu rupiah ( bajakan tentunya tapi dengan kualitas gambar yang cukup baik ), bandingkan dengan harga yang harus dikeluarkan apabila kita menonton sebuah film di bioskop, sekitar 25 ribu – 50 ribu rupiah tergantung bioskop yang kita pilih. Saya pun menyadari hal itu tapi saya tentu juga memiliki alasan. Terlepas dari alasan idealis yang sebenarnya juga masih saya miliki, alasan utama yang ingin saya kemukakan disini adalah bahwa menonton sebuah film di bioskop bagi saya adalah sebuah penyegaran, sebuah hobi untuk melepas penat dan mendapatkan lagi beberapa semangat. Ya, hobi. ...