Pelajaran itu memang bisa datang dari mana saja, melalui perantara apa saja. Kita tak boleh merasa puas, apalagi menjadi sombong dengan segala yang telah dimiliki dan segala pencapaian yang telah terlaksana. Hal itu tidak akan menghasilkan apapun kecuali mempertebal ego dan memandang rendah yang lain.
Akibatnya apa? Akibatnya kita akan selalu merasa benar, selalu ingin menang. Lebih parahnya, kita juga tak memiliki lagi hasrat untuk belajar atau setidaknya mengembangkan apa yang telah dimiliki. Pantas kah seperti itu?
Maka seharusnya tak ada orang yang seperti itu atau berusaha untuk menjadi seperti itu atau ketika merasa telah sedikit demi sedikit menuju kearahnya, cepat-cepat-lah untuk segera memutar arah dan sadari diri bahwa kesombongan itu tak layak untuk kita miliki. Bila memang akal sehat serta nurani masih ada di kandung badan!
Dan saya, yang saya pikir dan saya rasa, masih memiliki akal sehat serta nurani yang setahu saya juga masih sangat sehat, tentu tak ingin menjadi seperti yang telah saya sebutkan di atas. Saya selalu terbuka dengan segala apapun bentuk argumen, tak melulu ingin menang, serta tak sungkan untuk mengikuti pendapat dari orang yang saya benci sekalipun bila memang pendapat itu sangat argumentatif dan mampu untuk mempengaruhi saya.
Inkonsistensi? Saya rasa bukan, tapi sekali lagi ini bentuk nyata dari sebuah prinsip “tegas dalam idealisme, luwes dalam implementasi”, bersikap adaptif, dinamis serta fleksibel karena bukan kah semua bisa berubah sejalan dengan kejadian yang kita alami, entah musibah ataupun anugerah. Persepsi kita, cara pandang kita, opini kita, pengalaman kita, semuanya bisa berubah. Tapi, satu hal yang jangan berubah adalah : Aqidah kita, kepercayaan kita terhadap Allah, terhadap semua kekuasaan-Nya dan pilihan-Nya.
Iya ‘kan?
Hal-hal seperti itu membuat saya selalu berusaha terbuka dengan segala bentuk masukan, kritikan, bahkan cacian. Bahkan saya butuh itu semua! Saya selalu berusaha untuk mengetahui bagaimana pendapat orang, bagaimana penilaian orang terhadap apa yang telah, sedang, dan akan saya kerjakan, pikirkan, rencanakan serta konsepkan dalam kehidupan ini.
Ini lebih dari sekadar bentuk aktualisasi diri, ini lebih dari sekedar ingin untuk selalu diperhatikan. Tapi ini bentuk nyata untuk selalu mampu mengintrospeksi diri. Sarana untuk bisa semakin tau batas dan tau diri!
Ini lebih dari sekadar bentuk aktualisasi diri, ini lebih dari sekedar ingin untuk selalu diperhatikan. Tapi ini bentuk nyata untuk selalu mampu mengintrospeksi diri. Sarana untuk bisa semakin tau batas dan tau diri!
Makanya saya tak ingin mengintervensi sebuah pendapat karena toh UUD saja melindungi hak untuk mengemukakan pendapat, jadi kenapa juga saya harus mengintervensi? Sepanjang itu bukan fitnah atau hasutan buruk, kenapa saya harus risau?
Pada akhirnya, sehebat apapun saya, saya tak akan pernah bisa membuat orang untuk sepenuhnya serta seluruhnya menyukai, mencintai, dan menyayangi saya. Saya pun tidak cukup gila untuk mengharapkan itu terjadi. Hal yang paling mungkin untuk saya usahakan adalah agar semua orang tidak menjadi musuh bagi diri saya.
Oleh karena itu, ketika ada seorang junior meminta izin kepada saya untuk menanggapi salah satu tulisan saya ( baca : Pembunuhan akal sehat! ), saya justru berucap padanya untuk sesegara mungkin menuliskannya.
Memang apa yang hendak dia tanggapi bukan sebuah tulisan bertemakan sosial atau kehidupan masyarakat pada umumnya, tapi sebuah tulisan tentang kehidupan pribadi yang saya alami. Karena itu mungkin dia menjadi merasa harus meminta izin terlebih dahulu. Apalagi pada dasarnya dia memang tidak mengetahui apa duduk masalahnya secara menyeluruh.
Tapi itu bukan masalah bagi saya, sepanjang itu telah saya curahkan dalam sebuah media sosial atau sepanjang telah orang lain atau orang banyak ketahui, maka bagi saya itu tak lagi jadi ranah pribadi. Karena ketika itu masalah pribadi maka saya tidak akan mengumbarnya kepada khalayak luas dalam sebuah media jejaring sosial. Masuk akal sehat ‘kan?
Tapi itu bukan masalah bagi saya, sepanjang itu telah saya curahkan dalam sebuah media sosial atau sepanjang telah orang lain atau orang banyak ketahui, maka bagi saya itu tak lagi jadi ranah pribadi. Karena ketika itu masalah pribadi maka saya tidak akan mengumbarnya kepada khalayak luas dalam sebuah media jejaring sosial. Masuk akal sehat ‘kan?
Lalu apa yang terjadi selanjutnya?
Saya belajar banyak dari tulisan yang dia tuliskan ( Perasaan sekaligus Akal Sehat ), sebuah tulisan yang “katanya” hanya sebuah tanggapan dari apa yang saya tulis tapi bagi saya terasa sebagai sebuah tulisan referensi, pembuka cakrawala baru serta memperluas sudut pandang saya dalam satu fokus kehidupan.
hmm... efek dari ini saya rasa akan berlanjut dengan... :DD
BalasHapus