![]() | ||
http://images.detik.com/content/2013/04/20/1314/090026_cover73.jpg |
Sikap dan pendapat saya terang juga jelas. Masih juga sama, yaitu saya menolak UN!
Saya menolak segala bentuk penentuan kelulusan oleh sebuah standar yang ditetapkan secara sama dan nasional ketika kualitas pendidikan kita masih sangat timpang dan berbeda satu sama lainnya.
Permasalahan yang ada dalam tubuh UN adalah karena UN menjadi tolak ukur kelulusan setiap siswa, baik SD, SMP, dan SMA (dan segala bentuk sekolah lainnya yang sederajat).
Okay, bahwa kini UN bukan lagi satu-satunya penyebab atau syarat kelulusan, tapi sejauh yang saya tau (koreksi jika saya salah) UN masih mendapat porsi yang besar dalam penentuan kelulusan tersebut.
Akal sehat saya masih belum bisa menerima dengan kenyataan bahwa 3 (tiga) tahun menempuh sebuah proses pendidikan di bangku sekolah (SMP atau SMA) tiba-tiba semuanya harus ditentukan hanya dengan beberapa hari dan oleh beberapa pelajaran saja! Dimana akal sehatnya?!
UN pun dengan angkuhnya menyamaratakan kualitas pendidikan Indonesia, yang tersebar dari Sabang sampai dengan Merauke. UN lupa kalau Indonesia itu Negara yang majemuk. Mungkin juga lupa dengan Bhinneka Tunggal Ika. Dan sangat tidak ingat bahwa kini Indonesia tidak lagi sentralistik, bila sudah begitu mana UN tau dengan sistem otonomi daerah!
Mari kita bicara fakta, desentralisasi dengan otonominya (berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah) menyebabkan daerah leluasa untuk berkembang sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Positifnya kekayaan lokal berkembang maksimal. Tapi sayang, kemampuan satu daerah dengan daerah yang lain menjadi berbeda. Ada yang berlari. Ada yang cukup puas dengan berjalan. Bahkan ada yang masih merangkak!
Sehingga tak bisa dipungkiri kualitas pendidikan kita pun belum sama antara Jakarta dan Papua. Masih ada jurang pemisah dalam bentuk infrastruktur pendidikan yang memisahkan keduanya. Jadi bagaimana mungkin siswa di Jakarta dan siswa di Papua harus dituntut mengerjakan soal yang sama? dimana akal sehatnya?!
Alasan lain, yang tentunya lebih detail, telah jauh-jauh hari saya jabarkan dalam tulisan UN 2009-2010 , Api-Asap Sebab-Akibat , Ny. Siami : Pahlawan Tanpa Topeng dan Tersebab UN.
Tetapi secara garis besarnya saya masih belum mampu untuk menemukan alasan positif serta prinsip, sehingga pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, masih bersikukuh untuk menetapkan UN sebagai sebuah instrument kelulusan.
Bahkan secara lebih spesifiknya, akal sehat saya masih belum mengerti alasan pemerintah menetapkan kebijakan secara nasional dalam hal pendidikan. Karena bukan kah pendidikan itu adalah urusan daerah?
Di dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 10 ayat (1) disebutkan bahwa Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah.
Dalam hal menjalankan urusan yang menjadi kewenangannya, pemerintah daerah dapat menyelenggarakannya secara otonom berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Akan tetapi ketika hal itu berkaitan dengan urusan Pemerintah maka Pemerintah Daerah tidak bisa begitu saja mengerjakannya secara otonom.
Karena hal itu bukan urusan mereka jadi Pemerintah daerah bersifat “pasif” dan harus menunggu arahan dari Pemerintah, apakah Pemerintah akan menyelenggrakan sendiri, melimpahkan sebagian urusannya kepada SKPD atau menyerahkanya kepada Wakil Pemerintah di daerah atau menugaskan langsung kepada Pemerintah Daerah dan/atau desa.
Lalu apa saja urusan pemerintah itu? Sebagaimana Pasal 10 ayat (3) UU No. 32 tahun 2004 Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. politik luar negeri; b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi; e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama.
Dan pertanyaan sederhananya adalah adakah urusan pendidikan di dalam ayat tersebut? Bila tidak ada, berarti urusan pendidikan adalah urusan pemerintah daerah ‘kan? Bila begitu, pemerintah daerah mempunyai wewenang untuk menjalankannya secara otonom berdasarkan asas otonomi ‘kan?
Bahkan di pasal-pasal selanjutnya di dalam UU No. 32 tahun 2004 itu kita akan menemukan bahwa urusan pendidikan itu merupakan urusan wajib yang harus diselenggarakan oleh pemerintah daerah!
Lalu kenapa pemerintah harus bersusah payah menetapkan UN sebagai sebuah tolak ukur kelulusan secara nasional? Akal sehat saya justru lebih senang berpendapat bahwa alangkah sangat bijak bila saja pemerintah dalam hal ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Menterinya sekarang M. Nuh), fokus pada membuat kebijakan umum kurikulum nasional yang harus dilaksanakan oleh setiap daerah tapi dengan tetap menekankan bahwa pelaksanaan teknisnya atau penjabaran secara spesifiknya, tetap disesuaikan pada daerah itu masing-masing sesuai dengan otonomi itu sendiri. Saya pikir itu jauh lebih hemat!
Saya pikir itu tidak akan mengurangi kualitas peserta didik, karena saya yakin tidak akan ada daerah yang berani mempertaruhkan masa depan anak-anaknya! Semua pasti menginginkan yang terbaik bagi setiap anaknya.
Dan saya juga yakin, daerah-lah yang akan lebih mengetahui apa yang paling tepat untuk anaknya karena setiap hari mereka berproses dalam pendidikan secara langsung. Lalu pemerintah tau apa? Tak ada yang bisa menjamin pejabat yang ada di pemerintah pernah juga menjabat di daerah atau setidak-tidaknya pernah tau seperti apa proses pendidikan di daerah.
Jadi kenapa harus mereka (pejabat pemerintah) yang menentukan kebijakan untuk urusan yang menurut UU bukan urusan pemerintah? Dimana akal sehatnya?!
Karena demi masa depan anak-anak Indonesia. Karena faktanya UN tidak memberikan sumbangsih positif selain hanya berupa data dan perang nilai di atas kertas juga grafik. Karena UN justru menyebabkan terbentuknya pola pikir mementingkan hasil daripada sebuah proses. Karena UN justru melegalkan pikiran-pikiran instant. Karena UN justru mendorong kita untuk dekat dengan kapitalisme.
Dan karena karena yang lainnya, yang ternyata lebih banyak mudharat-nya daripada maslahat-nya, bahkan tidak hanya secara akal sehat tapi secara nurani pun UN sungguh tidak bisa diterima.
Lalu lantas kenapa masih juga dilaksanakan?
Dimana akal sehatnya?!
stay #PMA!
"Everybody is genius. But if u judge a fish by its ability to climb a tree, it will live its whole life believing that it is stupid". Quote ini cocok buat UN. Menurut tika lebih layak diurus oleh daerah masing - masing.
BalasHapus@tika : betul tika! ;)
BalasHapus