Langsung ke konten utama

Perdebatan akal sehat dan rasa (1)

Pelajaran itu memang bisa datang dari mana saja, melalui perantara apa saja. Kita tak boleh merasa puas, apalagi menjadi sombong dengan segala yang telah dimiliki dan segala pencapaian yang telah terlaksana. Hal itu tidak akan menghasilkan apapun kecuali mempertebal ego dan memandang rendah yang lain.  

Akibatnya apa? Akibatnya kita akan selalu merasa benar, selalu ingin menang. Lebih parahnya, kita juga tak memiliki lagi hasrat untuk belajar atau setidaknya mengembangkan apa yang telah dimiliki. Pantas kah seperti itu? 

Maka seharusnya tak ada orang yang seperti itu atau berusaha untuk menjadi seperti itu atau ketika merasa telah sedikit demi sedikit menuju kearahnya, cepat-cepat-lah untuk segera memutar arah dan sadari diri bahwa kesombongan itu tak layak untuk kita miliki. Bila memang akal sehat serta nurani masih ada di kandung badan! 

Dan saya, yang saya pikir dan saya rasa, masih memiliki akal sehat serta nurani yang setahu saya juga masih sangat sehat, tentu tak ingin menjadi seperti yang telah saya sebutkan di atas. Saya selalu terbuka dengan segala apapun bentuk argumen, tak melulu ingin menang, serta tak sungkan untuk mengikuti pendapat dari orang yang saya benci sekalipun bila memang pendapat itu sangat argumentatif dan mampu untuk mempengaruhi saya. 

Inkonsistensi? Saya rasa bukan, tapi sekali lagi ini bentuk nyata dari sebuah prinsip “tegas dalam idealisme, luwes dalam implementasi”, bersikap adaptif, dinamis serta fleksibel karena bukan kah semua bisa berubah sejalan dengan kejadian yang kita alami, entah musibah ataupun anugerah. Persepsi kita, cara pandang kita, opini kita, pengalaman kita, semuanya bisa berubah. Tapi, satu hal yang jangan berubah adalah : Aqidah kita, kepercayaan kita terhadap Allah, terhadap semua kekuasaan-Nya dan pilihan-Nya. 
Iya ‘kan? 

Hal-hal seperti itu membuat saya selalu berusaha terbuka dengan segala bentuk masukan, kritikan, bahkan cacian. Bahkan saya butuh itu semua! Saya selalu berusaha untuk mengetahui bagaimana pendapat orang, bagaimana penilaian orang terhadap apa yang telah, sedang, dan akan saya kerjakan, pikirkan, rencanakan serta konsepkan dalam kehidupan ini. 

Ini lebih dari sekadar bentuk aktualisasi diri, ini lebih dari sekedar ingin untuk selalu diperhatikan. Tapi ini bentuk nyata untuk selalu mampu mengintrospeksi diri. Sarana untuk bisa semakin tau batas dan tau diri! 

Makanya saya tak ingin mengintervensi sebuah pendapat karena toh UUD saja melindungi hak untuk mengemukakan pendapat, jadi kenapa juga saya harus mengintervensi? Sepanjang itu bukan fitnah atau hasutan buruk, kenapa saya harus risau? 

Pada akhirnya, sehebat apapun saya, saya tak akan pernah bisa membuat orang untuk sepenuhnya serta seluruhnya menyukai, mencintai, dan menyayangi saya. Saya pun tidak cukup gila untuk mengharapkan itu terjadi. Hal yang paling mungkin untuk saya usahakan adalah agar semua orang tidak menjadi musuh bagi diri saya. 

Oleh karena itu, ketika ada seorang junior meminta izin kepada saya untuk menanggapi salah satu tulisan saya ( baca : Pembunuhan akal sehat! ), saya justru berucap padanya untuk sesegara mungkin menuliskannya. 

Memang apa yang hendak dia tanggapi bukan sebuah tulisan bertemakan sosial atau kehidupan masyarakat pada umumnya, tapi sebuah tulisan tentang kehidupan pribadi yang saya alami. Karena itu mungkin dia menjadi merasa harus meminta izin terlebih dahulu. Apalagi pada dasarnya dia memang tidak mengetahui apa duduk masalahnya secara menyeluruh. 

Tapi itu bukan masalah bagi saya, sepanjang itu telah saya curahkan dalam sebuah media sosial atau sepanjang telah orang lain atau orang banyak ketahui, maka bagi saya itu tak lagi jadi ranah pribadi. Karena ketika itu masalah pribadi maka saya tidak akan mengumbarnya kepada khalayak luas dalam sebuah media jejaring sosial. Masuk akal sehat ‘kan? 

Lalu apa yang terjadi selanjutnya? Saya belajar banyak dari tulisan yang dia tuliskan ( Perasaan sekaligus Akal Sehat ), sebuah tulisan yang “katanya” hanya sebuah tanggapan dari apa yang saya tulis tapi bagi saya terasa sebagai sebuah tulisan referensi, pembuka cakrawala baru serta memperluas sudut pandang saya dalam satu fokus kehidupan.

Komentar

  1. hmm... efek dari ini saya rasa akan berlanjut dengan... :DD

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ibadalana uliy ba’sin syadid

Selasa, 22 Juli 2014 22.00 WIB Saya akan menampilkan atau mem- posting tulisan dari Bapak Usep Romli , Pengasuh Pesantren Budaya "Raksa Sarakan" Garut. Tulisan ini merupakan tulisan di kolom Opini , harian Republika yang diterbitkan pada hari Selasa, 22 Juli 2014. Beliau menulis tentang (satu-satunya) cara untuk bisa mengalahkan zionis Israel. sehingga tulisannya pun diberi judul, Mengalahkan Zionis Israel . Berikut ini tulisannya saya tampilkan penuh tanpa ada sedikit pun saya kurangi atau tambahkan. "Mengalahkan Zionis Israel" Hari-hari ini, bangsa Palestina di Jalur Gaza sedang dibombardir pasukan Zionis-Israel. Nyaris tak ada perlawanan sama sekali, karena Palestina tak punya tentara. Hanya ada beberapa kelompok sipil bersenjata yang berusaha bertahan seadanya. Negara-negara Arab yang tergabung dalam Liga Arab tak berdaya. Begitu pula negara-negara berpenduduk mayoritas Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI), tak da...

D-IV atau S1 ?

Suatu malam pada hari Sabtu , tanggal 14, bulan Januari , tahun 2012, berlatar tempatkan teras masjid Al-Ilmi IPDN Kampus Kalimantan Barat, terjadi satu percakapan ringan sangat sederhana tapi kemudian mampu untuk membuat otak ini menjadi rumit karena terus memikirkan substansi dari apa yang diperbincangkan itu, terlalu rumit sehingga saya pikir perlu untuk dituangkan dalam sebuah narasi penuh kata, tidak berpetuah dan tidak juga indah. Tapi cukup-lah untuk sekedar berbagi ide dan informasi yang pastinya tidak sesat. Dan ini-lah percakapan singkat itu : HP ( inisial teman saya ) : “Dim, kamu lebih milih mana, S.IP atau S.STP ?” Saya : “mmm….pengennya sih S.IP” HP : “Kenapa, Dim? Kata orang kan kalo S.STP tuh lebih baik buat karir dan kata orang juga S.IP tuh lebih condong buat jadi dosen.” Saya : “Wah gak tau sih kalo masalah yang kayak gitunya, tapi saya ingin S.IP karena yang saya tau S.IP itu lebih mudah untuk nantinya kita mau nerusin ke S2, nah kalo S.STP itu gak semua unive...

Wahana Wyata Praja IPDN

Sejarah Singkat Wahana Wyata Praja Wahana Wyata Praja adalah organisasi internal Praja IPDN yang pada dasarnya mempunyai tugas dan fungsi sama dari tahun ke tahun, namun namanya berubah sesuai situasi dan kondisi pada masa angkatan tersebut. Nama organisasi praja yang terbentuk sejak awal berdirinya STPDN hingga IPDN adalah sebagai berikut: Manggala Corps Praja Angkatan I STPDN sampai dengan angkatan IV STPDN Organisasi ini bernama MANGGALA CORPS PRAJA, yang pimpinannya adalah Manggala Pati dengan tanda jabatan talikur berwarna merah, nama Manggala Corps ini hanya sampai pada angkatan IV saja, karena pada angkatan V organisasi internal Praja ini berubah nama menjadi WAHANA BINA PRAJA. Wahana Bina Praja Angkatan IV STPDN sampai dengan angkatan XVI STPDN Wahana Bina Praja ini pimpinannya bernama Gubernur Praja dengan tanda jabatan talikur berwarna biru lis kuning nestel dua, dari Wahana Bina Praja inilah mulai di bentuk berbagai instansi dan UKP yang di ang...