*catatan : anda harus benar-benar membaca serta memhamai setiap kata yang terangkai menjadi kalimat pada setiap tulisan yang saya tampilkan dalam postingan ini sehingga anda bisa benar-benar mempunyai referensi baru mengenai apa itu Hari Kartini beserta Emansipasi yang ada satu paket di dalamnya.
Tulisan yang saya tampilkan di sini membahas emansipasi melalui sudut pandang yang berbeda yang saya yakini akan semakin memperluas khazanah keilmuan anda semua.
Lalu bagaimana dengan tulisan saya di bawahnya?
ahh...anggap saja itu sebagai sebuah hidangan penutup setelah anda mengunyah makanan enak nan bergizi. :)
enjoy and #PMA always!
Emansipasi bukan persamaan gender
Memahami Sesungguhnya Arti Emansipasi Wanita dalam Islam
Emansipasi Wanita
R.A. Kartini
emansipasi eman.si.pa.si
Emansipasi bukan persamaan gender
Memahami Sesungguhnya Arti Emansipasi Wanita dalam Islam
Emansipasi Wanita
R.A. Kartini
emansipasi eman.si.pa.si
[n] (1) pembebasan dr perbudakan; (2) persamaan hak dl berbagai aspek kehidupan masyarakat (spt persamaan hak kaum wanita dng kaum pria) : Kartini adalah tokoh -- wanita Indonesia
http://kamusbahasaindonesia.org/emansipasi
Emansipasi ialah istilah yang digunakan untuk menjelaskan sejumlah usaha untuk mendapatkan hak politik maupun persamaan derajat, sering bagi kelompok yang tak diberi hak secara spesifik, atau secara lebih umum dalam pembahasan masalah seperti itu.
Selamat datang, April!
Be nice, please!
Apa yang akan menjadi perbincangan hangat di bulan ini adalah WANITA dengan EMANSIPASI yang akan selalu menjadi senjata utama mereka. Ya, saya berani bertaruh bahwa di bulan ini, mendadak semua bentuk media massa, baik media cetak, maupun elektronik, akan seketika menjadi penuh dengan pemberitaan WANITA.
Mendadak akan banyak wanita yang diangkat ceritanya, entah itu cerita bahagia ataupun sedih penuh tangis sendu.
Mendadak semua produk memasang atau menggunakan slogan sangat WANITA dan sangat EMANSIPASI untuk mendongkrak penjualannya. Dan segala kegiatan mendadak lainnya yang tak akan jauh dari tema WANITA dan EMANSIPASI.
Hal itu menjadi sangat lumrah untuk terjadi setiap tahunnya karena setiap bulan April, kita, Bangsa Indonesia, selalu memperingati Hari Kelahiran R.A. Kartini pada tanggal 21 April atau biasa kita menyebutnya dengan Hari Kartini.
Kartini menjadi begitu sangat inspirasional sehingga diangkat menjadi Pahlawan Nasional bahkan hari kelahirannya dijadikan sebuah peringatan karena Negara menilai beliau sangat berjasa dalam memperjuangkan kaumnya, yaitu kaum wanita dari belenggu perbudakan yang pada zamannya begitu sangat mengekang wanita.
Dahulu, dimulai semenjak zaman kerajaan hingga zaman penjajahan, wanita tak mempunyai harga tawar apapun. Wanita hidup dengan penuh tekanan di bawah bayang-bayang kaum pria. Wanita tidak diperkenankan untuk mendapatkan pendidikan atau kesempatan bekerja seperti lelaki. Wanita harus tunduk patuh terhadap setiap apa yang menjadi perintah orang tua pada waktu itu. Wanita tak punya hak, atau mereka memiliki hak tapi sungguh tak lebih dari hanya hak untuk hidup.
Derajat mereka kala itu sungguh rendah, tak berarti apa-apa, dan mereka pun tak berdaya untuk melawan segala kondisi yang ada karena mereka lemah lalu kemudian sengaja dilemahkan.
Budaya yang kemudian sangat terkenal pada waktu itu, budaya yang diperlakukan khusus kepada setiap wanita, yaitu budaya pingit. Budaya pingit secara umumnya berarti wanita tak boleh dan tak bisa untuk leluasa bergerak keluar rumah dan melakukan segala jenis atau bentuk sosialisasi dengan dunia luar. Mereka hanya berdiam di rumah untuk kemudian menunggu saatnya dinikahkan dengan pria yang sama sekali tidak mereka kenal.
Semua itu, segala bentuk perlakuan itu yang kemudian dilawan dan coba untuk dirubah oleh seorang R.A. Kartini. Perjuangan yang beliau lakukan kini lebih dikenal dengan perjuangan Emansipasi Wanita. Walaupun telah lama berlalu, tapi sungguh semangat emansipasi seorang R.A. Kartini masih sangat terasa dan bahkan masih relevan untuk tetap diperjuangkan di masa kekinian ini. Tapi apa yang menjadi salah pada dewasa ini adalah terdapat kesalahpahaman dari beberapa wanita yang ada di Indonesia saat ini, mereka salah memahami apa itu emansipasi dan mengaburkan segala makna, semangat serta tujuan awal dari emansipasi dengan makna serta semangat persamaan gender yang sekarang sangat nyaring terdengar dan sangat lantang untuk dikumandangkan oleh sebagain kelompok wanita.
Ini-lah kemudian yang menjadi kurang tepat.
Jauh-jauh hari saya telah juga memberikan beberapa argumen saya mengenai apa itu kesetaraan gender dan alasan kenapa kita harus mengkritisi hal itu pada tulisan RUU KG.
Bila pada waktu itu saya berbicara panjang lebar kesetaraan gender dalam kaitannya dengan RUU KG maka kali ini saya akan kembali mengkritisi pemikiran kesetaraan gender itu sehubungan dengan akan diperingatinya Hari Kartini pada tanggal 21 April ini.
Apa yang harus terlebih dahulu kita pahami bersama adalah tentunya tentang definisi mengenai pokok masalah yang akan kita bahas. Kita semua sering kali masih tidak terlalu memahami makna dari kata Emansipasi.
Emansipasi itu secara sederhananya adalah pembebasan dari perbudakan. Pada definisi seperti ini maka jelas emansipasi itu perlu dan layak diperjuangkan karena wanita tak berarti harus terlahir menjadi seorang budak, wanita juga mempunyai hak untuk mendapatkan akses terhadap segala sumber kehidupan dan penghidupan. Perdebatan itu kemudian menjadi muncul karena definisi emansipasi mulai untuk kemudian dikaburkan atau didekatkan dengan juga semangat untuk persamaan serta kesetaraan gender.
Dan disini-lah letak permasalahan itu.
Gender berasal dari kata “gender” (bahasa Inggris) yang diartikan sebagai jenis kelamin secara sosial budaya dan psikologis. Berdasarkan pengertian kata gender seperti itu, maka apakah mungkin, layak, serta bisa seorang wanita disamakan serta disetarakan “gender”-nya dengan seorang lelaki?
Bila anda seorang atheis sekalipun, maka silahkan anda uji dengan segala cara kerja ilmiah, baik secara psikologis, ciri fisik, sosial serta budaya, apakah ada kemungkinan seorang wanita itu sama dengan seorang lelaki?
Saya rasa hampir tak mungkin.
Apalagi untuk setiap orang yang secara jelas memiliki, mengakui, dan meyakini adanya Tuhan, normalnya, pada hakikatnya mereka tak akan pernah menemui pembenaran bahwa wanita dan lelaki itu sama. Dan karena perbedaan gender itu-lah kemudian mau tidak mau, suka tidak suka, pria dan wanita akan selalu mempunyai tugas dan perannya masing-masing.
Ini-lah keseimbangan!
Bagi saya, emansipasi itu relevan ketika wanita memperjuangkan atau melawan segala bentuk perbudakan terhadap kaum wanita serta bentuk ketidakadilan seperti budaya pingit pada zaman dahulu. Tapi kemudian ketika emansipasi itu dewasa ini diartikan untuk mendapatkan persamaan gender saya rasa itu sudah berjalan tidak pada hakikatnya.
Saya berpendapat bahwa keadilan itu bukan sama rasa, sama rata, tapi harus mampu menempatkan segala sesuatunya pada porsi dan tempat yang telah ditentukan. Maka tak adil ketika wanita harus mengerjakan pekerjaan yang tidak sesuai dengan gendernya.
Saya berpendapat bahwa diskriminasi itu adalah ketika wanita tidak mendapatkan kesempatan yang sama terhadap suatu sumber daya atau akses mereka terhadap sumber daya itu sengaja dihalangi, tapi sepanjang wanita dan pria itu mempunyai kesempatan yang sama maka jelas tak ada diskriminasi.
Bagaimana bentuk penghalangan itu?
Bentuk penghalangan itu bila pada zaman dahulu jelas dengan budaya pingit, tapi bukankah sekarang budaya itu hampir tak ada lagi kita temukan?
Bahkan dalam konstitusi, UUD 1945, telah sangat jelas tertuang dalam BAB XA bahwa Negara mengakui dan menjamin HAM bagi setiap WARGA NEGARA INDONESIA. Konstitusi tak hanya menyebutkan pria atau wanita, tapi dengan sangat jelas konstitusi menyebutkan WARGA NEGARA INDONESIA, yang tentunya terdiri dari Pria dan WANITA.
Saya pikir masalahnya adalah wanita itu sendiri yang selalu ingin untuk diperlakukan istimewa dalam artian dalam segala halnya mereka selalu ingin untuk mendapatkan suatu “aturan” khusus bagi wanita.
Terkadang wanita itu sendiri yang membuat mereka “lemah” dan menempatkan pada posisi yang seolah-olah mereka itu “teraniaya”.
Seperti misalnya pada keanggotaan suatu partai politik, mereka menuntut untuk dimasukan dalam UU yang mengatur tentang Partai Politik ataupun PEMILU untuk memasukan batas minimal jumlah keanggotaan wanita. Sebenarnya ini aneh bila kita telaah lebih jauh, karena pada dasarnya tidak ada aturan yang menyebutkan bahwa anggota partai politik itu harus pria atau mayoritas anggotanya harus-lah pria bahkan di setiap aturan lainnya, tak ada yang mengatur tentang hal itu. Tapi memang telah menjadi kodratnya, bahwa pria akan selalu terdepan untuk mendapatkan atau menjalankan pekerjaan yang memang secara kodrat lebih pantas untuk dikerjakan oleh seorang pria. Padahal jumlah wanita lebih banyak daripada pria.
Begitu juga sebaliknya, ketika memang pekerjaan itu lebih pantas untuk dikerjakan oleh wanita maka dengan sendirinya wanita-lah yang kemudian akan mendominasi dalam pekerjaan itu padahal tak ada penghalang atau akses terhadap pekerjaan itu sama-sama terbuka untuk wanita maupun pria.
Jadi, apa yang saya maksud dalam pernyataan di atas adalah, ketika memang sebuah pekerjaan itu secara kodratnya lebih pantas untuk dikerjakan oleh pria, maka pria-lah yang kemudian akan mendominasinya, walaupun akses terhadapnya sama antara pria dan wanita itu. Begitu juga sebaliknya. Karena kodrat itu adalah kekuasaan Tuhan dan manusia tidak akan mampu menentang (atas dirinya) sebagai makhluk Tuhan.
Wanita ya wanita, pria ya pria.
Semua ada berpasang-pasangan untuk saling melengkapi dan saling mengisi.
Jadi, kenapa lantas dua gender yang nyata berbeda ingin untuk menjadi sama dan setara? Akan jadi apa dunia?
Stay #PMA :)
Hidup ! ibu, mamah, teteh, neng, mba, tante, bibi dkk, Hidup wanita ! ^___^
BalasHapushahaha hidup juga lah!
BalasHapusaku cuman tahu harri muliawan :D
BalasHapushaha mentang-mentang nya namanya harri ya? :D
BalasHapushehehe.. ya begitulah :-D
BalasHapus